Kata “Sengaja” dalam KUHP

La Ode Sakiyuddin

Dalam salah satu tweet-nya, Novel Baswedan mengatakan bahwa “Penafsiran kata sengaja adalah pelajaran dasar dalam hukum pembuktian…”.

Hal ini tentunya untuk menanggapi pernyataan jaksa yang menuntut pelaku penyiraman air keras kepadanya (novel) dengan menggunakan pasal 353 Jo. Pasal 55 ayat KUHP, dengan alasan tiadanya kesenggajaan dari pelaku penyiraman untuk melukai mata Novel Basewedan.

Pernyataan Fredrik Adhar, JPU dalam kasus air keras Novel sontak menuai pro dan kontra di masyarakat luas. Bagaimana bisa pelaku yang menyiram seseorang seusai shalat subuh di anggap tidak sengaja atau ketika seseorang menyiram dengan sengaja pada badan dan dianggap tidak sengaja mengenai mata, tepatkah penafsiran yang dilakukan oleh JPU tersebut jika di ulik dari sudut pandang hukum pidana ?

Kata sengaja dalam KUHP adalah terjemahan dari bahasa Belanda opzet. Misalnya terdapat dalam pasal 191 yang berbunyi, “hij die opzettelijk eenig electriteitswerk nielt … Yang artinya “Barangsiapa dengan sengaja merusak suatu bangunan listrik … juga di pasal 338 yang berbunyi “hij die opzettelijk een ander Van hey leven berooft … Yang artinya “Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain …”.

Dalam doktrin, selanjutnya dapat dibedakan menjadi dua jenis delik yakni delik dolus (kesengajaan) dan delik culpa (ketidaksengajaan). Kemudian dapat ditemukan pula oleh para ahli yang memadankan schuld adalah culpa dan opzet adalah dolus atau kesengajaan.

Dalam memori penjelasan pembentukan KUHP (Memorie Van Toelichting), para penyusun KUHP mengartikan “sengaja” sebagai “Opzettelijk plegen Van een misdriff atau kesengajaan melakukan kejahatan. Sebagai het teweegbrengen Van verboden handeling willens en wetens atau sebagai melakukan tindakan yang terlarang secara dikehendaki dan diketahui.

Perkataan willens en wetens memberikan suatu kesan, bahwa seseorang dianggap sengaja melakukan kejahatan apabila ia benar-benar berkehendak melakukan kejahatan tersebut dan mengetahui maksud dari perbuatannya sendiri.

Menurut Van Hamel dalam inleiding, hal 287, ada tiga bentuk opzet yang di akui secara umum yaitu :

1. Opzet als oogmerk

2. Opzet bij zekerheids-bewustzin

3. Opzet bij mogelijkheids-bewustzin

Opzet als oogmerk menurut Van Hattum hanya bisa ditunjukan kepada tindakan-tindakan, baik itu merupakan tindakan untuk melakukan sesuatu (Een doen), tindakan tidak melakukan sesuatu (Een nalaten) atau tindakan untuk menimbulkan suatu akibat yang dilarang oleh undang-undang.

Jadi apabila seseorang dalam melakukan tindakan terlarang dan menyadari bahwa akibat tersebut pasti timbul ataupun mungkin timbul karena tindakan yang sedang ia lakukan sedang timbulnya tindakan tersebut memang ia kehendaki maka apabila kemudian benar bahwa akibat tersebut telah timbul karena perbuatannya dapat dikatakan bahwa orang tersebut mempunyai opzet als oogmerk pada timbulnya akibat bersangkutan.

Sedangkan Opzet bij zekerheids-bewistzijn dapat di contohkan seperti ini : seseorang hendak membunuh saingannya di pertarungan politik dengan cara menembaknya dengan AK47. Sedangkan disekitar lawan politiknya itu ada orang lain yang ia ketahui jika dilepaskan tembakan maka orang lain tersebut akan ikut terkena tembakan walaupun ia tidak bermaksud untuk membunuhnya. Apabila kemudian orang lain yang bukan pesaingnya itu benar-benar mati atau terkena tembakan maka dapat dikatakan ia telah melakukan kesengajaan dalam bentuk opzet zekerheids-bewustzijn. Zeker berarti pasti sedangkan bewust berarti sadar, zekerheids bewustzijn berarti sadar akan kepastian.

Selanjutnya dalam melakukan suatu delik atau perbuatan yang dilarang oleh UU yang pada waktu melakukan perbuatannya tersebut mempunyai kesadaran tentang kemungkinan timbulnya suatu akibat yang lain daripada yang ia kehendaki dan apabila kesadaran akan kemungkinan timbulnya akibat lain itu tidak membuat dirinya membatalkan niatnya dan kemudian ternyata bahwa akibat semacam itu benar-benar terjadi, maka akibat seperti itu si pelaku dikatakan mempunyai opzet mogelikheids-bewustzijn. Mogelijkheids berarti “kemungkinan”. Sehingga ia sadar akan kemungkinan yang akan terjadi. Atau juga disebut dolus eventualis.

Namun terkait bentuk opzet yang terakhir ini belum dianut pada putusan pengadilan, Pompe mengatakan sebelum tahun 1945 belum ada putusan yang menganut dolus eventualis ini.

Kemudian juga dikenal dolus premeditatus dan dolus impectus. Dolus premeditatus adalah opzet yang terbentuk setelah dipikirkan dan direncanakan dengan tenang. Sedangkan dolus impectus adalah opzet yang terbentuk tanpa dipikirkan ada direncanakan secara tenang.

Syarat-syarat dan Pengaturan Harta Bersama Perkawinan Poligami

La Ode Sakiyuddin

Walaupun secara prinsip berlaku asas monogami namun hukum positif yang mengatur tentang perkawinan juga memberikan kemungkinan untuk menyimpangi asas tersebut. Dalam arti UU perkawinan yang berlaku di Indonesia membolehkan dilakukannya poligami namun dengan syarat-syarat yang cukup ketat.

Asas monogami terpancang pada pasal 3 ayat 1 UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang berbunyi :

“Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang istri”

Seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami”

Namun asas monogami kemudian disimpangi oleh ayat selanjutnya yakni pasal 3 ayat 2 UU Perkawinan yang berbunyi :

“Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”.

Artinya, dalam hal-hal yang sangat khusus, berpoligami (beristri lebih dari satu orang dalam waktu yang bersamaan) masih diperbolehkan, asalkan memenuhi syarat, alasan dan prosedur tertentu.

Dalam hal ini, yang merupakan syarat-syarat hukum agar seorang laki-laki dapat kawin lebih Ari satu orang istri dalam jangka waktu bersamaan (berpoligami) adalah sebagai berikut :

1. Apabila beristri lebih dari satu memang dimungkinkan oleh agama mereka yang hendak melakukan perkawinan tersebut. Pengaturan mengenai kebolehan berpoligami dikembalikan kepada agama masing-masing pihak. Dalam agama Islam berpoligami adalah dibolehkan sebagaimana dalam terdapat dalam ayat berikut :

… maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja… (QS. An bisa:3)

2. Apabila istri yang sudah ada dan istri yang hendak di kawini tersebut tidak melebihi jumlah yang dibenarkan oleh agama yang dianut oleh mereka yang hendak melakukan perkawinan tersebut.

3. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri yang sudah ada terhadap perkawinan yang baru

4. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup semua istrinya beserta anak-anak mereka

5. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap semua istri-istri beserta anak-anaknya.

5. Disamping itu agar pengadilan dapat memberikan izin untuk beristri lebih dari satu, maka salah satu atau lebih syarat-syarat berikut ini harus dipenuhi, yaitu istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, istri mendapat cacat badan dan /atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Namun demikian, persetujuan dari istri/istri-istri yang sudah ada terhadap perkawinannya dengan calon istri baru dalam hal seseorang berpoligami tidak diperlukan dalam hal sebagai berikut :

1. Apabila dari istrinya/istri-istri tersebut tidak mungkin diminta persetujuan dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian

2. Apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya dua tahun.

3. Apabila ada sebab-sebab lainnya yang dapat disetujui oleh hakim.

Perkawinan adalah perbuatan hukum yang akan menimbulkan akibat hukum. Salah satunya terkait dengan harta kekayaan pasangan suami istri. Terutama harta bersama atau lazim disebut harta Gono gini. Soal ini diatur dalam pasal 65 ayat 1 UU 1/1974 yang menyatakan :

istri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan istri kedua atau berikutnya itu terjadi”

Kemudian selanjutnya dalam huruf C pasal dan ayat yang sama mengatur bahwa “semua istri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak perkawinannya”

Dari ketentuan tersebut menegaskan beberapa asas, yakni pertama, dalam perkawinan poligami terbentuk beberapa paket harta bersama. Kedua , terwujudnya harta bersama terhitung mulai tanggal perkawinan dilangsungkan. Ketiga, masing-masing harta bersama tersebut terpisah dan berdiri sendiri.

Terkait dengan penerapan pasal 65 dalam praktek peradilan, nyatanya jauh sebelum berlaku UU No 1 Tahun 1964 sudah diterapkan. Dapat dilihat pada putusan MA nomor 248 K/Sip/1958 tanggal 10 September 1958 dimana harga Gono gini dipisah-pisahkan.

Asas tersebut bukan hanya berlaku kepada pria tetapi juga bagi wanita yang misalnya mula-mula menikah dengan seorang pria dan berlangsung bebrapa lamanya kemudian terputus karena suaminya wafat dan menikah lagi dengan seorang pria lain maka paket harta bersama antara suami pertama dan kedua itu terpisah.

Sumber bacaan relevan :

Munir Fuady, Konsep Hukum Perdata, Rajagrafindo persada, 2016

Abdul Manaf, Aplikasi asas equalitas hak dan kedudukan suami istri, mandar maju, 2006.

Absurditas Perpres No 64 Tahun 2020 tentang Jaminan Kesehatan

Di tengah kegagapan menghadapi covid-19, Presiden Jokowi mengeluarkan Perpres No 64 Tahun 2020 tentang Jaminan Kesehatan perubahan kedua atas Perpres No 82 Tahun 2018 tentang jaminan kesehatan.

Perpres No 64 Tahun 2020 telah sudah membuat banyak pihak merasa terkelabui mengingat di Perpres ini Presiden kembali menaikan harga iuran BPJS setelah sebelum melalui Perpres 75 tahun 2019 dibatalkan oleh Mahkamah Agung dengan putusan No 7 P/HUM/2020.

Menarik jika mencermati konsideran Perpres 64/2020 dimana tertuang pertimbangan sebagai berikut :

“Bahwa untuk menjaga kualitas dan kesinambungan program jaminan kesehatan, kebijakan pendanaan jaminan kesehatan termasuk kebijakan iuran perlu disinergikan dengan kebijakan keuangan negara secara proporsional dan berkeadilan serta memperhatikan pertimbangan dan amar putusan Mahkamah Agung Nomor 7 P/HUM/2020”.

Kenaikan harga iuran BPJS tertuang pada pasal 34 ayat (1) huruf (b), (2) dan (3) Perpres 64/2020. Untuk kelas III dari Rp. 25.000. menjadi Rp. 35.000, untuk kelas II dari Rp. 51.000 menjadi Rp. 100.000, dan untuk kelas I dari Rp. 80.000 menjadi Rp. 150.000.

Salah satu bagian pendapat hukum MA pada putusan Nomor 7 P/HUM/2020 hal 55 disebutkan :

“Bahwa memperhatikan konsideran faktual pada Perpres 75/2019, ternyata tidak mempertimbangkan kemampuan masyarakat untuk membayar kenaikan iuran BPJS. Pertimbangan faktual lebih menekankan pada penyesuaian iuran, karena adanya defisit anggaran…”

Hal yang sama juga dapat ditemukan pada konsideran Perpres 64/2020. Bahwa sebagaimana dikutip diatas pertimbangan hanya dari aspek “kebijakan iuran perlu disinergikan dengan kebijakan keuangan negara secara proporsional dan berkeadilan“.

Artinya hal yang sama telah kembali dilakukan oleh pemerintah yakni mengandung cacat yuridis karena menurut MA bertentangan dengan pasal 2 UU No 40 Tahun 2004 tentang jaminan kesehatan nasional jo. Pasal 2 UU No 24 tahun 2011 tentang BPJS yang menggariskan bahwa “sistem jaminan kesehatan nasional diselenggarakan berdasarkan kemanusiaan, asas manfaat, dan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Sehingga dapat disimpulkan pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres No 64/2020 sebagaimana Perpres No 75/2019 mengandung cacat yuridis secara substansi.

Selain itu, pernyataan terbaru dari WHO bahwa kemungkinan Covid-19 tidak akan berakhir adalah fakta sosiologis yang luput dipertimbangkan dalam menerbitkan Perpres 64. Bahwa carut marut ekonomi yang lumpuh akibat covid-19 akan membutuhkan waktu yang lama untuk kembali seperti semula –menjadi sangat absurd jika kemudian masyarakat dihadapkan pada kenaikan harga BPJS. Dimana pemerintah justru secara sengaja menambah beban ekonomi masyarakat. Dalam arti pemerintah gagal dan luput mempertimbangkan suasana kebatinan masyarakat.

Juga ada hal yang menarik perhatian kalau membaca Perpres 64/2020 ini apabila melihat konsideran “mengingat” angka (4) dimana tertuang bahwa Perpres No 82/2018 telah diubah dengan Perpres 75/2019 sedangkan di title Perpres 64/2020 sebagai perubahan kedua atas Perpres 82/2018. Hal tersebut dapat ditemukan pada file Perpres 64/2020 yang diunduh dari laman Hukumonline.com. pertanyaannya dimana Perpres perubahan kedua atas Perpers 82/2020. Apakah perpres 75/2019 atau Perpres 64/2020 ? Karena kalau membaca putusan MA No 7 P/HUM/2020 yang dibatalkan hanya pasal 34 ayat (1) dan (2).

Namun, Nasi telah menjadi bubur, pemerintah telah mengoyak nurani kemanusiaan di tengah duka dan kesulitan akibat Corona.

Tentu upaya hukum terbuka lebar apabila kembali melakukan uji materil terhadap Perpres 64/2020 akan tetapi apakah hal tersebut bukannya menjadikan kebijakan pemerintah laiknya lelucon. Bagaikan membincangkan mana yang duluan telur atau ayam, siklus kausalitas tiada henti apabila pemerintah ngotot menerbitkan perpres, di Uji Materil, terbit Perpres lagi, di uji lagi, terus seperti itu tiada henti.

Absurditas Perpres No 64 Tahun 2020 tentang Jaminan Kesehatan

Di tengah kegagapan menghadapi covid-19, Presiden Jokowi mengeluarkan Perpres No 64 Tahun 2020 tentang Jaminan Kesehatan perubahan kedua atas Perpres No 82 Tahun 2018 tentang jaminan kesehatan.

Perpres No 64 Tahun 2020 telah sudah membuat banyak pihak merasa terkelabui mengingat di Perpres ini Presiden kembali menaikan harga iuran BPJS setelah sebelum melalui Perpres 75 tahun 2019 dibatalkan oleh Mahkamah Agung dengan putusan No 7 P/HUM/2020.

Menarik jika mencermati konsideran Perpres 64/2020 dimana tertuang pertimbangan sebagai berikut :

“Bahwa untuk menjaga kualitas dan kesinambungan program jaminan kesehatan, kebijakan pendanaan jaminan kesehatan termasuk kebijakan iuran perlu disinergikan dengan kebijakan keuangan negara secara proporsional dan berkeadilan serta memperhatikan pertimbangan dan amar putusan Mahkamah Agung Nomor 7 P/HUM/2020”.

Salah satu bagian pendapat hukum MA pada putusan Nomor 7 P/HUM/2020 hal 55 disebutkan :

“Bahwa memperhatikan konsideran faktual pada Perpres 75/2019, ternyata tidak mempertimbangkan kemampuan masyarakat untuk membayar kenaikan iuran BPJS. Pertimbangan faktual lebih menekankan pada penyesuaian iuran, karena adanya defisit anggaran…”

Hal yang sama juga dapat ditemukan pada konsideran Perpres 64/2020. Bahwa sebagaimana dikutip diatas pertimbangan hanya dari aspek “kebijakan iuran perlu disinergikan dengan kebijakan keuangan negara secara proporsional dan berkeadilan“.

Artinya hal yang sama telah kembali dilakukan oleh pemerintah yakni mengandung cacat yuridis karena menurut MA bertentangan dengan pasal 2 UU No 40 Tahun 2004 tentang jaminan kesehatan nasional jo. Pasal 2 UU No 24 tahun 2011 tentang BPJS yang menggariskan bahwa “sistem jaminan kesehatan nasional diselenggarakan berdasarkan kemanusiaan, asas manfaat, dan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Sehingga dapat disimpulkan pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres No 64/2020 sebagaimana Perpres No 75/2019 mengandung cacat yuridis secara substansi.

Selain itu, pernyataan terbaru dari WHO bahwa kemungkinan Covid-19 tidak akan berakhir adalah fakta sosiologis yang luput dipertimbangkan dalam menerbitkan Perpres 64. Bahwa carut marut ekonomi yang lumpuh akibat covid-19 akan membutuhkan waktu yang lama untuk kembali seperti semula –menjadi sangat absurd jika kemudian masyarakat dihadapkan pada kenaikan harga BPJS. Dimana pemerintah justru secara sengaja menambah beban ekonomi masyarakat. Dalam arti pemerintah gagal dan luput mempertimbangkan suasana kebatinan masyarakat.

Juga ada hal yang menarik perhatian kalau membaca Perpres 64/2020 ini apabila melihat konsideran “mengingat” angka (4) dimana tertuang bahwa Perpres No 82/2018 telah diubah dengan Perpres 75/2019 sedangkan di title Perpres 64/2020 sebagai perubahan kedua atas Perpres 82/2018. Hal tersebut dapat ditemukan pada file Perpres 64/2020 yang diunduh dari laman Hukumonline.com. pertanyaan dimana Perpres perubahan kedua atas Perpers 82/2020. Karena kalau membaca putusan MA No 7 P/HUM/2020 yang dibatalkan hanya pasal 34 ayat (1) dan (2).

Namun, Nasi telah menjadi bubur, pemerintah telah mengoyak nurani kemanusiaan di tengah duka dan kesulitan akibat Corona.

Tentu upaya hukum terbuka lebar apabila kembali melakukan uji materil terhadap Perpres 64/2020 akan tetapi apakah hal tersebut bukannya menjadikan kebijakan pemerintah laiknya lelucon. Bagaikan membincangkan mana yang duluan telur atau ayam, siklus kausalitas tiada henti apabila pemerintah ngotot menerbitkan perpres, di Uji Materil, terbit Perpres lagi, di uji lagi, terus seperti itu tiada henti.

Hak-Hak Pekerja yang di PHK Karena Covid-19

Oleh : Sakiyuddin Sabzavari

Penetapan COVID-19 sebagai bencana nasional tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) 12/2020 tentang Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

Covid-19 telah mengakibatkan banyak perusahaan dan atau pengusaha yang terkena dampak hingga mengalami kerugian yang cukup besar. Dan beberapa harus gulung tikar. Sehingga harus melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).

Lalu apa hak-hak pekerja yang di PHK karena pandemic Covid-19 ?, sebelum membahas itu lebih jauh terlebih dahulu dipahami bentuk perselisihan hubungan industrial.

Ada empat bentuk perselisihan hubungan industrial menurut UU No 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan (selanjutnya “UU/13/2003”) yakni perselisihan hak, perselisihan antar serikat pekerja dalam satu perusahaan, perselisihan kepentingan, dan perselisihan PHK.

PHK dapat dilakukan oleh Pengusaha, Pekerja dan PHK bukan dari pengusaha dan pekerja. Dalam “UU/13/2003” telah diatur jenis-jenis PHK sesuai dengan sebab-sebabnya. Ada 17 jenis PHK. Diantaranya adalah PHK yang terjadi akibat karena perusahaan merugi atau mengalami force majeure, sebagaimana diatur dalam pasal 164 ayat (1) yang berbunyi :

“Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Menurut Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro S. H. keadaan memaksa dalam hukum adalah keadaan yang menyebabkan bahwa suatu hak atau suatu kewajiban dalam suatu perhubungan hukum tidak dapat dilaksanakan. Selain doktrin penjelasan mengenai keadaan memaksa juga dapat diperoleh melalui berbagai peraturan perundang-undangan, yang oleh Rahmat S.S. Soemadipradja telah disarikan unsur-unsurnya sebagai berikut :

  1. Terjadinya keadaan /kejadian di luar kemauan, kemampuan atau kendali  para pihak;
  2. Menimbulkan kerugian bagi para pihak atau salah satu pihak;
  3. Terjadinya peristiwa tersebut menyebabkan tertunda, terhambat, terhalang, atau tidak dilaksanakannya prestasi para pihak;
  4. Para pihak telah melakukan upaya sedemikian rupa untuk menghindari peristiwa tersebut;
  5. Kejadian tersebut sangat mempengaruhi pelaksanaan perjanjian.

Lebih lanjut Rahmat S.S Soemadipraja mengatakan, “Awalnya, hanya peristiwa-peristiwa yang dikategorikan sebagai bencana yang murni disebabkan oleh alam, seperti banjir, tanah longsor, dan gempa bumi. Kemudian, berkembang ke peristiwa-peristiwa yang dikategorikan sebagai bencana yang disebabkan oleh perbuatan manusia, seperti kerusuhan, pemberontakan, dan bencana nuklir.

Selain kedua penyebab itu, peristiwa-peristiwa lain yang disebabkan oleh keadaan darurat, kebijakan pemerintah, dan kondisi teknis yang berada di luar kemampuan para pihak pun akhirnya dimasukkan sebagai peristiwa yang dapat menyebabkan terjadinya force majeure”.

Berdasarkan penjelasan diatas maka Keputusan Presiden (Keppres) 12/2020 tentang Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Sebagai Bencana Nasional adalah merupakan dasar hukum yang kuat untuk alasan Pengusaha melakukan PHK.

Kembali kepada pasal 164, akibat hukum dari PHK karena keadaan memaksa adalah …” pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4)”.

Besarnya pesangon, uang penghargaan dan uang penggantian hak yang diterimakan kepada pekerja yang terkena PHK tergantung pada lamanya masa kerja. Untuk nilai besarannya lihat pasal 156. Agar mudah dipahami, berikut contoh perhitungan hak yang wajib diterima oleh pekerja yang di PHK :

Yahya telah bekerja pada sebuah perusahaan di Makassar selama 6 tahun. Dengan jabatan sebagai kepala gudang. Ia di tempatkan di kota Baubau setiap bulan Yahya mendapat gaji tetap Rp. 3.000.000. selain itu ia juga diberikan tunjangan antara lain :

  1. Tunjangan jabatan (tetap)                                            : Rp. 200.000/bulan
  2. Tunjangan keluarga (tetap)                                          : Rp. 150.000/bulan
  3. Tunjangan masa kerja (tetap)                                       : Rp.100.000/bulan
  4. Tunjangan Makan & Transportasi                                : Rp. 30.000/bulan

Total upah pokok dan tunjangan tetap yang diterimanya setiap bulan : Rp. 3.450.000

Pada tahun ke -6 perusahaan tersebut mengalami kerugian. Semua pekerja di PHK termasuk Yahya.  Sesuai ketentuan pasal 164 UUKK, kompensasi yang diterima Yahya adalah sebagai berikut :

  1. Uang pesangon (1 x ketentuan)

7 x Rp. 3.450.000                                                        : Rp. 24.150.000

  • Uang penghargaan masa kerja ( 1 x ketentuan)

3 x Rp. 3.450.000                                                        : Rp. 10.350.000

  • Besarnya uang penggantian Hak :
  • Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur

12/30 x Rp. 3.450.000                                           : Rp. 1.380.000

  • Penggantian perumahaan, pengobatan & perawatan

15% x (7 x 3.450.000 + 3 x 3.450.000)                : Rp. 5.175.000

  • Biaya Transportasi Makassar ke Baubau               : Rp. 600.000

Maka total jumlah yang harus diterima Yahya adalah              : Rp. 41.655.000.

Hukum Perseroan Komanditer (CV) |Seri Hukum Perusahaan

Foto : Sakiyuddin Sabzavari

Kita sering menjumpai nama perusahaan yang menggunakan kata “CV”, baik usaha perdagangan maupun jasa. Paling banyak dalam usaha jasa konstruksi.

Pada kesempatan ini kita akan coba mengulas segala hal tentang CV, mulai dari pengertian, dasar hukum, jenis, pertanggungjawaban hukum, hingga berakhirnya CV.

CV adalah kependekan dari Commanditaire vennootschap atau lazim diterjemahkan dengan perseoran Komanditer. Pengertian CV menurut pasal 19 KUHD adalah suatu perseroan untuk menjalankan suatu perusahaan yang dibentuk antara satu orang atau beberapa orang pesero yang secara tanggung menanggung bertanggung jawab untuk seluruhnya (tanggung jawab solider) pada satu pihak, dan satu orang atau lebih sebagai pelepas uang (geldschieter) pada pihak lain (C.S.T Kansil, 2015:73)

Mengenai geldschieters dalam pasal 19 ayat 1 KUHD terdapat terjemahan berbeda-beda. Subekti menerjemahkan dengan istilah “pelepas uang”, Tirtaamidjaja menerjemahkannya “si pemberi uang” sedangkan Sukardono lebih tepat menerjemahkannya dengan istilah “seorang yang mempercayakan uang” (C.S.T Kansil, 2015:73)

Dalam rancangan undang-undang usaha perseorangan dan usaha bukan badan hukum pasal 1 butir 5 CV adalah badan usaha bukan badan hukum yang mempunyai satu atau lebih sekutu komplementer dan sekutu Komanditer.

Dari ketentuan pasal itu terlihat bahwa di dalam CV terdapat dua alat kelengkapan yaitu pesero yang bertanggung jawab secara tanggung renteng (pesero aktif) dan pesero yang memberikan pinjaman uang (pesero pasif). Pesero aktif adalah orang yang mempunyai tanggung jawab penuh untuk mengelola perusahaan dengan jabatan direktur. Adapun Persero pasif adalah orang yang mempunyai tanggung jawab sebatas modal yang ditempatkan dalam perusahaan (Zainal Asikin, 2018:41)

Pesero dibelakang layar atau pesero pasif atau komanditaris yang juga disebut sleeping partners, sedangkan anggota yang memimpin perseroan dan bertindak keluar adalah anggota-anggota aktif yang disebut pesero pengurus atau pesero pemimpin atau juga disebut komplementaris.

Menurut pasal 20 ayat 3 KUHD tanggung jawab pesero Komanditer hanya terbatas pada sejumlah modal yang ia setor. Dan di pasal 20 ayat 2 KUHD ditentukan pula pesero Komanditer tidak boleh ikut serta dalam pengurusan perseroan atau mencampuri pesero kerja. Apabila larangan tersebut dilanggar, Pasal 21 KUHD memberikan sanksi pada pesero Komanditer. Sanksi yang diberikan dalam bentuk pesero Komanditer tersebut harus bertanggung jawab secara pribadi untuk keseluruhan terhadap semua utang atau perikatan yang dibuat persekutuan.

Pesero biasa atau pesero aktif atau pesero komplementer adalah pesero yang menjadi pengurus perseroan atau persekutuan. Pesero inilah yang akan menjalankan perseroan atau perusahaan atau CV. Ia aktif menjalankan hubungan dengan pihak ketiga. Sehingga tanggung jawab adalah tanggung jawab secaa pribadi untuk keseluruhan. Apabila pesero aktif lebih dari satu orang maka didalam anggaran dasar harus ditegaskan tentang siapa yang diperkenankan untuk bertindak keluar.

A. Jenis-jenis Perseroan Komanditer

Zainal Asikin mengutip H.M.N Purwosutjipto menyebutkan ada tiga jenis perseroan komanditer, yaitu :

1. Perseroan komanditer diam-diam, yaitu adalah perseroan komanditer yang belum menyatakan dirinya secara terang-terangan kepada pihak ketiga sebagai perseroan komanditer.

2. Perseroan komanditer terang-terangan, yaitu perseroan komanditer yang dengan terang-terangan menyatakan dirinya perseroan komanditer terhadap pihak ketiga.

3. Perseroan komanditer dengan saham, yaitu perseroan komanditer terang-terangan yang modalnya terdiri atas saham-saham. Pembentukan dan pengeluaran saham semacam ini berdasarkan ketentuan pasal 1338 ayat 1 dan pasal 1337 KUHPer Jo. Pasal 1 KUHD.

B. Pendirian CV

Untuk mendirikan CV dibutuhkan minimal dua orang yang bertindak sebagai pesero aktif dan pesero pasif. Para pendiri harus 100 persen WNI. Warga asing tidak diperbolehkan. Setiap pendirian CV harus dengan akta auntentik sebagai akta pendirian dan dilakukan oleh notaris yang berwenang diwilayah NKRI. Pertama kali yang harus dilakukan dalam mendirikan CV adalah menetapkan kerangka anggaran dasar perseroan sebagai acuan untuk dibuatkan akta autentik oleh notaris yang berwenang.

Sesungguhnya tidak ada syarat khusus oleh UU bahwa pendirian CV harus dengan akta autentik. Sebenarnya tidaklah memerlukan suatu formalitas dan karenanya dapat dilakukan dengan lisan maupun tulisan. Hanya saja dalam praktik di Indonesia sekarang perjanjian pendirian CV diadakan di akta notaris.

Pemakaian nama CV tidak diatur khusus oleh UU namun harus berkedudukan di wilayah NKRI. pula di lengkapi dengan maksud dan tujuan serta kegiatan usaha. Dalam akta pendirian tidak perlu disebutkan mengenai modal yang disetor, besarnya modal perseroan dapat dicantumkan di SIUP. Yang paling terpenting adalah harus ditetapkan siapa saja yang menjadi pesero aktif dan pesero pasif.

C. Hubungan intern dan ekstern Pesero

Hubungan intern adalah hubungan antara pesero pasif dan pesero aktif. Pesero aktif memiliki kewajiban untuk memasukan uang atau barang kedalam perseroan atau memasukan tenaganya untuk menjalankan perseroan. Pesero aktif memikul tanggung jawab tidak terbatas atas kerugian yang diderita oleh perseroan dalam menjalankan usahanya. Pembagian keuntungan dan kerugian diantara para pesero diatur dalam akta pendirian. Apabila tidak ada pengaturan sebelumnya maka berlaku pasal 1633 ayat 1 dan pasal 1634 KUHper.

Sedangkan hubungan ekstern para pesero dengan pihak ketiga adalah tetap berpegang pada kaidah bahwa hanya pesero aktif yang berhak menjalankan perusahaan atau CV dalam hubungannya dengan pihak ketiga. Hal ini sangat penting mengingat pertanggungjawaban hukum pesero. Sesuai dengan pasal 20 maka jika terjadi kerugian pesero aktif akan diminta pertanggung jawabannya secara tanggung renteng. Implikasinya pesero pasif tidak perlu memikul kerugian CV yang jumlahnya lebih besar dari modal yang disetorkan.

D. Berakhirnya CV.

Karena hakikatnya CV adalah persekutuan perdata maka berakhirnya CV adalah sama dengan persekutuan perdata yang diatur dalam pasal 1646 dan 1652 KUHperdata.

Pasal 1646 menyebutkan bahwa paling tidak 4 hal yang menyebabkan persekutuan berakhir, yaitu lewatnya masa perjanjian waktu perseroan, musnahnya barang atau diselesaikannya perbuatan yang menjadi pokok perseroan, kehendak dari pesero dan jika salah satu pesero meninggal dunia atau ditaruh dibawah pengampunan.

Jika CV bubar maka pesero aktif yang berwenang melakukan likuidasi, kecuali disimpangi dalam perjanjian atau rapat pesero aktif. Jika setelah likuidasi masih terdapat sisa harta CV, maka dibagikan kepada semua pesero sesuai pemasukan masing-masing.

Legal Positivism, Meta Teori Perpu No 1 Tahun 2020

Legal positivism hadir dengan kekuatan penuh menggeser aliran hukum kodrat dalam kancah persaingan teori hukum. Hukum kodrat setelah munculnya teori legal positivism benar-benar terjungkal dari singgasana teori hukum yang sejak Aristoteles sangat mendominasi.

Tersebutlah nama beken, Jhon Austin di balik teori hukum yang kini paling banyak dianut dan di praktekan oleh sistem hukum negara-negara di dunia.

Jhon Austin dalam karyanya yang berjudul The Province of Jurisprudence Determined telah menggeser cita-cita tentang keadilan (idea of justice) yang digaungkan oleh para penganut aliran hukum kodrat dengan mengubahnya menjadi perintah yang berdaulat (command of sovereign).

Dalam hal ini, Prof. Jhon Austin berdalil, bahwa hukum adalah suatu peraturan yang dibuat untuk mempergunakan sebagai pedoman makhluk berakal, oleh makhluk berakal yang mempunyai kekuasaan terhadapnya. Bedasarkan pengalaman yang ditemui oleh Prof. Jhon Austin dalam kesehariannya, bahwa hukum positif berakar sepenuhnya dari fakta-fakta empiris yang bersumber dari ketentuan berdaulat. Dari pemikiran yang disumbangkan oleh Prof. Jhon Austin tersebut, memunculkan kenyakinan tiada hukum tanpa perintah penguasa berdaulat.

Perpu no 1 tahun 2020 adalah salah satu produk hukum dari penguasa berdaulat. Yang dipilih secara demokratis dan di terbitkan sesuai amanat konstitusi tentang kewenangan presiden perihal perpu (pasal 22 UUD 1945).

Perpu ini telah menjadi pegangan pemerintah dalam mengelola keuangan negara yang bersifat emergency akibat hantaman badai pandemic Corona. Selain jadi pegangan, perpu ini juga berpotensi menjadi alat oleh pihak tidak bertanggung jawab untuk menunggangi emergency power dalam batas yang di amanahkan konstitusi.

Bagaimana tidak, perpu ini ternyata tidak mencantumkan pasal 12 UUD 1945 sebagai konsideran “mengingat”. Dimana pasal 12 UUD 1945 berbunyi:

“Presiden menyatakan keadaan bahaya, syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang”

Padahal dengan adanya pengumuman status pandemic Corona dari WHO dan juga status bencana nasional dari pemerintah seharusnya sudah sangat cukup alasan untuk menyatakan keadaan berbahaya. Untuk itu dibutuhkan UU sebagaimana amanah pasal 12 diatas sekaligus dalam upaya menangani pandemic ini secara konstitusional.

Benar keadaan bahaya telah sudah pula diatur dalam UU no 23 tahun 1959, namun tentunya UU tersebut terakhir ini sudah tidak sesuai dengan kondisi negara saat ini. Olehnya itu semestinya “keadaan bahaya” di akomodir melalui perpu no 1 tahun 2020 agar sekali lagi langkah-langkah pemerintah dalam menangani pandemic Corona sesuai dengan emergency powers yang digariskan konstitusi.

Kembali kepada tema utama tulisan ini, menyangkut legal positivism yang merupakan meta teori dari perpu no 1 tahun 2020, –penting untuk mengetengahkan pemikiran filsuf hukum Harvard, Prof. Lon Luvis Fuller –yang menurutnya teori Austin itu tidak berdasarkan moralitas.

Karena penekanan Austin pada perintah sehingga luput untuk membatasi “perintah” seperti apakah yang seharusnya menjadi based dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Karena –misalnya Holocaust Yahudi oleh Nazi juga adalah merupakan “perintah berdaulat” dari Hitler. maka tepat apa yang diutarakan Fuller bahwa “perintah” saja tidak cukup, –namun mesti diimbangi dengan moralitas.

Berbicara tentang moralitas, bangsa Indonesia melalui founding father telah menetapkan pancasila sebagai falsafah hidup berbangsa dan bernegara yang menjadi sumber dari segala sumber hukum (grundnorm). Nilai Pancasila adalah jiwa bangsa (volkgeist) sebagaimana diungkap Von Savigny, yang mesti diterjemahkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Termasuk dalam hal ini perpu no 1 tahun 2020.

Namun pasal 27 Perpu no 1 tahun 2020 telah sudah –justru memberikan perlindungan yang teramat sangat terhadap pelaksana kekuasaan, –bahkan jika kelak merugikan negara dan atau warga negara tidak dianggap sebagai pelanggaran hukum. Luvis Fuller telah mengingatkan bahwa hukum tidak boleh saling kontradiksi (bandingkan pasal 27 ayat 1, 2, 3 perpu no 1 2020 dengan UU Tipikor, UU HAM, KUHper dll).

Benar bahwa dalam kondisi abnormal hukum yang diberlakukan juga harus abnormal. Namun suatu peraturan perundang-undangan harus senantiasa memuat pola hubungan yang di idealkan oleh konstitusi seperti diantaranya keadilan dan kesetaraan.

Dalam perwujudannya nilai ideal yang termuat dalam konstitusi dan Pancasila tersebut dipercayakan kepada legislative dan yudikatif untuk senantiasa menjaga eksekutif berada di rel konstitusi. Sehingga tepat bilamana Perpu No 1 tahun 2020 di tolak untuk disahkan menjadi UU oleh DPR dan atau Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal 27 Perpu no 1 tahun 2020 sebagaimana diajukan oleh berbagai pihak untuk Judical Review.

Tafsir Hukum Futuristis dalam film Brigde of Spies

Foto : Wikipedia

Di angkat dari kisah nyata, film Brigde of spies (2015) mengisahkan pertukaran mata-mata antara Amerika serikat dan Uni Sovyet.

Film ini menjadi menarik, terutama bagi pecinta film holluwood karena penonton akan diajak bertamasya pada era perang dingin (1947-1991). Dimana “ganasnya” perang dingin ini juga berimbas pada negeri kita tercinta. Indonesia. Tetapi hal ini akan dibahas disesi yang lain.

Lebih dari itu, film ini adalah garapan sutradara ternama, Steven Spielberg -sekaligus sebagai produsernya. Dimana ia telah beberapa kali memenangi Piala Oscar sebagai sutradara terbaik antara lain pada tahun 1999 melalui film Saving Private Ryan dan tahun 1994 melalui Schindler’s List.

***

Berawal ditangkapnya Rudolf Abel (Mark Rylance) agen mata-mata Sovyet oleh FBI yang kemudian membawanya pada proses persidangan yang panjang dan unfair akibat persepsi tentang perang dingin yang turut mempangaruhi para juri, jaksa, dan hakim persidangan. Dimana juri, hakim dan Jaksa menganggap kasus ini tak ubahnya perang. Sedangkan persidangan itu hanyalah formalitas belaka untuk menjaga nama baik AS di mata dunia internasional.

Adalah James B. Donovan (Tom Hanks) salah seorang pengacara asuransi, mantan konsuler yang ditunjuk oleh asosiasi pengacara AS untuk membela Rudolf Abel di persidangan. Donovan tetap berpegang pada prinsipnya sebagai pengacara yang berusaha meringankan kliennya. Walaupun upayanya itu dikecam oleh banyak pihak termasuk CIA dan keluarganya sendiri.

Hoffman seorang agen CIA pernah secara terangan-terangan mengorek informasi pada Donovan, namun Donovan membantahnya dengan menggunakan konstitusi AS, Bahwa ia bersikeras -sesuai konstitusi AS, Abel hanyalah seorang kriminal, layaknya kriminal lainnya. Yang tentu hal ini membuat Donovan tidak di sukai oleh hakim dipersidangan.

Melalui usaha keras dari Donovan yang memberikan pandangan hukum pada hakim, bahwa pemberian vonis ringan terhadap Abel akan bermanfaat jika suatu saat ada mata-mata AS yang tertangkap oleh USSR atau Uni Sovyet.

Akhirnya dihari penjatuhan putusan sang hakim menghukum Abel dengan vonis 30 tahun penjara. Suatu keputusan yang mendatangkan protes dari banyak pihak termasuk sebagian besar rakyat Amerika.

Donovan menganggap vonis hakim masih terlalu berat, ia pun mengajukan banding di supreme court (setara MA) dan meminta agar Rudolf Abel dibebaskan dengan argumen hukum :

1. Rudolf Abel memiliki prinsip dengan menjaga rahasia negaranya. Ini profesionalitas yang harus di tiru dan dipertimbangkan. Karena tentunya mata-mata AS yang juga tertangkap oleh Sovyet akan melakukan hal yang sama.

2. Rudolf Abel sudah tua dan memiliki keluarga yaitu istri dan anak.

3. Rudolf Abel dapat dijadikan bargaining untuk pertukaran tahanan antara USA dan USSR.

Tepat pada saat itu salah satu operasi CIA untuk memata-matai wilayah Sovyet menggunakan pesawat pengintai Yu-2 di tembak jatuh oleh sistem pertahanan USSR. Pilotnya Gary Powers (Austin Powell) selamat dengan menggunakan kursi pelontar dan tertangkap oleh tentara merah, Sovyet.

Apa yang diutarakan oleh Donovan dihadapan hakim Supreme Court pun terbukti. Bahwa kini ada warga Amerika yang ditangkap oleh USSR dan oleh agen KGB Sovyet yang bernama Vogel sedang menginisiasi pertukaran tahanan. Antara Rudolf Abel dan Garry Powers.

Singkat cerita, pertukaran Rudolf Abel dan Gary Powers pun dilaksanakan di suatu subuh di perbatasan kota Berlin timur dan Berlin barat. Pertukaran tahanan berlangsung sukses berkat kegigihan Donovan melakukan negosiasi dengan pihak Sovyet. Untuk kesusksesannya kelak Donovan mendapat penghargaan dari pemerintah AS, bahkan menjadi juru runding AS ketika hendak membebaskan ribuan tahanan AS di Cuba.

Tafsir Futuristik

Seringkali bahasa yang digunakan undang-undang tidak mendapat penjelasan lengkap oleh pembuat undang-undang, sehingga para ahli hukum kemudian merumuskan beberapa teori penafsiran UU. Terutama apabila terjadi kekosongan hukum, penafsiran hukum mutlak diperlukan. Karena apabila suatu masalah diajukan dipersidangan hakim tidak boleh menolak mengadili -dengan asas ius curia novit, hakim dianggap mengetahui seluruh hukum.

Salah satunya adalah penafsiran futuristik. Oleh Hazewinkel-Suringa mengatakan bahwa putusan Hoge Raad yang fenomenal tentang dimasukanya aliran listrik sebagai benda sebagaimana yang termuat dalam pasal 362 KUHP, adalah menggunakan penafsiran futuristik. Mengingat pada saat itu para pembentuk UU telah memasukan listrik sebagai termaksud benda dalam revisi pasal pencurian. Putusan Hoge Raad ini populer dengan sebutan Electriteite Arrest.

Penafsiran futuristis atau antisipatif memiliki arti bahwa, penafsiran yang mencari makna didalam peraturan-peraturan yang belum mempunyai kekuatan hukum berlaku yaitu dalam rancangan perundang-undangan (Dijan Widijowati, 2018;240)

Donovan telah sudah menggunakan penafsiran futuristis untuk membela Abel. Dengan mengemukakan argumen bahwa jika meringankan Abel maka suatu ketika ada mata-mata AS yang ditangkap oleh Sovyet juga akan diberikan hukuman ringan. Apa yang diutarakan Donovan ini kemudian terbukti melalui vonis yang dijatuhkan pengadilan Sovyet terhadap Gary Powers, dimana ia hanya diberi sanksi 10 tahun penjara.

Lebih lanjut, pada akhirnya argumentasi hukum Donovan terbukti setelah adanya niat dari Sovyet untuk melakukan pertukaran tahanan. Yang merupakan kebijakan baru -baik bagi Sovyet maupun AS sendiri, yang mana biasanya para tahanan mata-mata, berakhir di kursi listrik.

Akan tetapi ada hal menarik dari argumentasi Donovan, ia tidak mendasarkan argumentasinya pada suatu Rancangan UU tertentu. Hal ini wajar karena AS menganut sistem hukum Common Law.

Sehingga dapatlah disebut -yang digunakan Donovan sebagai penafsiran hukum futuristis materil sebagai pembeda dengan penafsiran futuristis formil (mendasarkan pada RUU). Yang banyak terdapat dalam sistem hukum civil law atau Eropa kontinental.

Selain penafsiran futuristis Donovan juga menggunakan penafsiran Teleologis. Hal ini terlihat saat ia mengemukakan pertimbangan usia dan keluarga Abel dihadapan supreme court.

Terakhir, yuk nonton filmnya di YouTube. Adami subtitle nya. []

Prof, menulislah yang serius

Foto : Dok Pribadi

“Menulis adalah kerja keabadian” demikian gubah sastrawan besar Pramoedya Ananta Tour.

Menulis selain tuntutan prestise bagi para cendikiawan kini juga telah menjadi kewajiban administratif. Misalnya untuk mengusul kepangkatan dosen, diwajibkan menulis beberapa jurnal yang harus diterbitkan dilaman jurnal terakreditasi.

Khusus untuk prof biasanya ada target jurnal terindeks Scopus. Scopus akan menjadi prestise tersendiri bagi para prof -seperti sudah menjadi kewajiban secara tidak langsung. Semakin banyak menulis maka kepakaran semakin terlegitimasi.

Apalagi dalam dunia hukum. Dimana doktrin menjadi salah satu sumber hukum (Sudikno Mertokusumo, 2014). Sehingga begitu penting posisi karya tulis khususnya buku bagi seorang ilmuwan hukum.

Sebagai mahasiswa hukum dan pecinta literasi, buku menjadi kebutuhan utama. Sangat penting untuk mempelajari dan terutama memahami tata hukum serta penafsiran hukum yang banyak di tulis oleh para ahli hukum.

Oleh karena itu saya -dengan kemampuan ekonomi yang pas-pasan -berusaha mengkoleksi buku hukum yang ditulis oleh prof-prof hukum dari berbagai kampus ternama di tanah air.

Seringkali -setidaknya lebih dari sekali saya harus menelan kekecewaan. Hanya karena buku tebal yang saya beli dengan harga cukup mahal (untuk kantong saya), isinya justru separuh lampiran UU atau RUU.

Bisa dibayangkan, buku yang tebalnya 300 halaman dengan harga tidak kurang dari 80rb rupiah -isinya separuh, atau 150 halaman hanyalah lampiran undang-undang.

Bukan hanya undang-undang, pernah sekali berisi -sebagian besar halaman – file presentase Powerpoint. Padahal buku itu ditulis oleh seorang profesor hukum kenamaan.

Bayangkan hanya membeli satu dua undang-undang yang dapat didownload secara gratis, harus mengeluarkan uang ratusan ribu. betapa nyesek jiwa misqeun ku !!

Jika terlebih dahulu ada pemberitahuan di cover sebenarnya ruginya tidak seberapa. Tetapi banyak juga yang tidak mencantumkan informasi bahwa buku tersebut juga berisi UU.

Akhirnya semangat 45 karena sudah mampu membeli buku, berubah menjadi kekecewaan tak terperi.

Terkadang terlintas pikir, apa ini masuk kategori wansprestasi ? Atau perbuatan melawan hukum ? Atau penipuan ?

Walaupun tidak masuk ketiganya janganlah buat kami-kami merugi.

Sehingga melalui tulisan singkat ini saya ingin para ilmuwan hukum untuk menulislah yang serius. Karena kalau hanya melampirkan UU dan kemudian dicetak, anak semester 2 (dua) juga bisa.

Masalah tentang Terjemahan KUHP

Karena penolakan keras sejumlah elemen akhirnya KUHP buatan dalam negeri harus kembali batal di tetapkan. Konsekwensinya adalah tetap pada KUHP warisan Belanda ratusan tahun silam

Bukan hanya karena sudah uzur, KUHP Belanda atau Wetboek Van Strafrecht juga dalam implementasinya atau dalam praktik harus pula di terjemahkan terlebih dahulu dari bahasa aslinya bahasa Belanda.

Proses penerjemahan KUHP sendiri tidak ada yang secara resmi diakui atau dilakukan oleh negara. Prof. Eny Nurbaningsi mantan kepala BPHN dan sekarang menjabat sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi pada seminar hukum di Universitas Hasanuddin, 2019 lalu mengatakan bahwa hingga saat ini belum ada terjemahan resmi KUHP dari pemerintah. Padahal ada 7 (tujuh) terjemahan beredar di kalangan masyarakat, akademisi dan praktisi hukum.

Oleh karena itu, dalam praktik kita dapat menjumpai demikian banyak terjemahan, yang satu dengan yang lainnya, ternyata sangat berbeda dan dalam penggunaannya dapat menimbulkan kesalahpahaman diantara mereka yang belum benar-benar menguasai ilmu pengetahuan hukum pidana, dan tanpa disadari oleh penerjemahnya sendiri, kesalahan yang tampaknya tidak berarti di dalam menerjemahkan ketentuan-ketentuan pidana dalam KUHP itu dalam kenyataanya dapat mengakibatkan kesalahan-kesalahannya yang fatal dalam penerapannya (Lamintang, 2014:121).

Tentunya hal ini harus mendapat perhatian serius pemerintah. Agar terdapat keseragaman terjemahan sehingga tidak menimbulkan multiinterpretasi dan pemahaman.

Sekedar contoh akan dikemukakan 3 terjemahan dari pasal 1 ayat 1 KUHP yang berbeda dari P.AF. Lamintang, Mr. E.M.L Engelbrecht dan Redaksi Bhafana Publishing yang jual di Gramedia.

Redaksi pasal 1 ayat 1 dalam bahasa Belanda adalah sebagai berikut :

Green feit ia strafbaar dan uit Kracht Van eene daaraan voorafgegane wettelijk strafbepaling.

Oleh P.A. Lamintang menerjemahkannya dengan :

Tidak ada suatu perbuatan yang dapat dihukum, kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah ada terlebih dahulu daripada perbuatannya itu sendiri.

Sedangkan Mr. E.M.L Engelbrecht menerjemahkannya menjadi :

Tiada suatu perbuatan yang boleh dihukum melainkan atas kekuatan aturan pidana, dalam undang-undang yang terdahulu dari perbuatan itu.

Bandingkan lagi dengan terjemahan versi Redaksi Ghafana Publishing :

Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.

Dengan mencermati 3 terjemahan diatas kita dapat melihat adanya beberapa perbedaan. Baik dari jenis pilihan kata maupun dari struktur kalimat.

Misalnya kata strafbepaling oleh E.M.L Engelbrecht diartikan sebagai “aturan pidana”, sedangkan P.A.F Lamintang mengartikannya dengan “ketentuan pidana”.

Begitu juga dengan kata “wettelijk” oleh Mr. Engelbrecht di artikan “di dalam undang-undang”, hal mana mendapat kritik dari Lamintang bahwa kalimat “di dalam undang-undang” dapat memberikan kesan seolah-olah yang dimaksud dengan wet dalam perkataan wettelijk itu hanyalah wet atau undang-undang dalam arti formal saja. Padahal yang dimaksud disitu adalah juga undang-undnag dalam arti material.