Tuhan yang adil

Catatan yang ada, telah sudah ada 4.300 konsep Tuhan di sepanjang sejarah umat manusia. Tuhan “lahir” di satu komunitas lalu mati bersama sejarah silih berganti, saling mempengaruhi, menambah dan mengurangi sesuai dengan kecenderungan masyarakat saat itu.

Kini, hampir 2500 tahun, manusia mulai menetap pada satu tuhan yang satu, monoteisme. Membuang tuhan-tuhan lain dalam jurang sudut sejarah dan terlupakan. Tuhan yang satu itu lebih superior dari Tuhan yang banyak, kemanunggalan Tuhan dianggap yang paling cocok dengan akal sehat manusia.

Tuhan yang banyak atau setidaknya lebih dari satu selain menimbulkan konflik dalam konsepsinya juga menyebabkan kerumitan bagi penyembahnya. Banyak persembahan yang harus di siapkan oleh manusia. Hingga agama-agama moneteis menggeser mereka dan mengutuknya sebagai berhala semata.

Tuhan yang satu itu di kenal atau memperkenalkan diriNya terhadap umat manusia. Selalu saja ada manusia yang di yakini menjadi pembawa misi dari Tuhan yang satu itu. Tidak ada yang bisa memverifikasi keberadaannya bahkan boleh jadi akhirnya dilarang untuk bertanya seperti itu, Tuhan itu suci dari segala anggapan manusia yang profan.

Diawal, Tuhan berusaha memperkenalkan dirinya. Pembawa misinya kerap mendapat umpatan dan halangan. Begitu sulit Tuhan menembus akal Budi manusia yang menjadi ciptaannya. Butuh banyak peperangan, mukzizat, agar manusia tunduk padaNya. Akal Budi yang mulanya adalah ciptaanya kini Tuhan pun tak mampu serta Merta membuatnya yakin akan keberadaanya. Telah pun juga mengakui keberadaanya, rupa-rupanya manusia masih juga membangkang. Kemahakuasaanya tidak berarti bagi manusia yang pendosa. Tuhan tidak kuasa membuat semua manusia untuk memujanya. Sebagian manusia ternyata memilih untuk meninggalkannya dan menganggapnya sebagai pelarian.

Untuk itu, Tuhan telah menciptakan neraka. Bagi para pembangkang itu, sebuah telaga yang berbahan api membara, serupa lava yang dihembuskan gunung berapi. Menurut kisah, api itu lebih panas lagi, sebuah panas yang tak terbayangkan oleh manusia fana. Telaga itu akan melahap manusia-manusia pembangkang tadi, meleburnya bersama api. Bukan hanya manusia dengan akal Budi yang membangkang, saudara manusia sesama ciptaanNya, jin dan iblis juga itu didalamnya, mendidih bersama api.

Itulah akhir manusia pembangkang. Yang akal budinya menjadi hijab keberadaanya. Menjadi dinding bagi perintahNya.

Akan tetapi bukankah pembangkangan itu adalah juga kehendakNya ? Atau apakah kuasanya lumpuh di hadapan hati yang bebal ?. Semua yang terjadi adalah atas izinNya. Tidak ada sekecil biji zara pun yang terjadi diluar kehendaknya. Ia maha kuasa. Jadi pembangkangan itu juga bagian dari kuasanya. Bukankah harus begitu adanya agar nampak serasi dan adil.

Manusia tidak berdaya dihadapan maha kuasa. Ia bagian pion di budak catur yang terbelah. Ada yang berjalan di sisi penuh kebaikan dan ada pula yang berjalan disisi yang penuh dengan kegelapan dan dosa. Keduanya adalah kehendakNya. Begitulah yang terjadi di semesta ini, semua atas kehendaknya. Dari hati yang berbentuk seonggok daging hingga hati yang merasakan kepiluan, nafsu dan kehendak adalah kepunyaanNya.

Lalu manusia yang lain pun bertanya. Manakah Tuhan yang adil itu. Yang tidak memilih kasih kepada siapa dan etnis apa saja agamanya di turunkan. Pernahkah Tuhan itu menengok ciptaannya di pulau-pulau terpencil lautan Pasifik dengan mengirimkan Wahyu agar mereka beriman. Menyampaikan Wahyu pada orang-orang sentinel agar mereka menjadi lebih manusiawi.

Sampai kini mereka mereka. Suku sentinel tidak mengenal kitab suci. Tidak mengenal agama samawi. Tidak mengenal Ibrahim. Tidak mengenal –manusia diluar Komune mereka. Tampaknya Tuhan belum kesana. Tidakkah Tuhan iba pada keterbelakangan mereka.

Jika Tuhan iba dan itu cukup adil maka seluruh komunitas mesti memiliki nabinya sendiri dengan bahasanya sendiri. Agar tidak kesulitan menerjemahkan dan menafsirkan jalan pedoman kebenaran dari kitab suciNya.

Harusnya Tuhan itu tidak membuat kita menjadi pendosa. Setidak-tidaknya melarang akal Budi manusia untuk menjadi pembangkang. Fitrah yang kuat dan mampu melindungi manusia dari dosa. Tuhan yang adil pada semua manusia.

Tetapi apakah pantas manusia menuntut keadilan atas Tuhan ?

Tanggung Gugat Direksi & Komisaris dalam PP No 23 Tahun 2022

La Ode Sakiyuddin

Pada 8 juni 2022 Presiden Jokowi dodo dan Mentri Hukum dan HAM, Yasona Laoly mengeluarkan beleid PP No 23 Tahun 2022 perubahan atas PP No 45 tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara. Selanjutnya ada beberapa pasal yang di nilai menarik perhatian terkait pertanggungjawaban pribadi pengurus dan pengawas atas kerugian yang menimpa perum atau BUMN.

Hal tersebut di atur pada pasal 27 dan pasal 59 yang berbunyi sebagai berikut :

Pasal 27

(1) Setiap anggota Direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab tugas untuk
kepentingan dan usaha BUMN.

(2) Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian BUMN apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

Pasal 59

(1) Komisaris dan Dewan Pengawas wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha BUMN,


(2) Komisaris dan Dewan Pengawas bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian BUMN apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).

Pada kedua pasal tersebut terdapat causa identik yang menyebabkan tanggung jawab pengurus maupun pengawas suatu Perum dan BUMN sangat penting dalam hal –ketika –suatu perusahaan mengalami kerugian. Yaitu, itikad baik dan tanggung jawab. Norma ini sudah pula termuat pada UU perseroan terbatas dimana terdapat dalam pasal 97 ayat 1 dan 2 UU PT.

Itikad Baik

Salah satu asas penting dalam hukum perjanjian adalah asas keseimbangan. Dimana para pihak dalam melaksanakan perjanjian wajib dengan itikad baik. Namun demikian tidak ada penjelasan konkret terkait apa yang di maksud dengan itikad baik. Para ahli kemudian menjadikan yurisprudensi sebagai rujukan guna menafsirkan itikad baik berdasarkan temuan hakim. Misalnya pada putusan PT Surabaya Nomor 262/1951/pdt menafsirkan itikad baik sebagaimana yang terdapat dalam pasal 1338 BW adalah sebagai kejujuran (toe goeder trouw). Sedangkan di putusan PT Bandung tahun 1970 menafsirkan itikad baik sebagai sesuai kepatutan dan keadilan.

PP 23/2022 ini sangat dibutuhkan untuk mencegah praktik-praktik tidak bertanggung jawab yang kerap terjadi di BUMN. Dimana sering terjadi kepailitan BUMN tanpa ada pihak yang dianggap bertanggung jawab atas kerugian perusahaan. Padahal keuangan BUMN berasal dari APBN yang berarti uang Rakyat. Dengan adanya PP 23/2022 negara memberikan kewenangan kepada mentri selalu penanggung jawab untuk menggugat direksi maupun komisaris apabila kerugian yang dialami BUMN terjadi akibat kelalaian daripada direksi dan komisaris. Disisi lain, PP 23 dapat menjadi tools untuk mencegah BUMN menjadi ruang bancakan elit politik. Seperti diketahui kerap terjadi pengisian komisaris terkadang hanya sekedar untuk bagi-bagi jabatan tanpa proses dan tanggung jawab yang jelas.

Walaupun tidak ada indikator pasti atas apa itu itikad baik dalam PP 23 namun tetap saja ini sebuah kemajuan dalam dunia per BUMN an di tanah air. Karena komisaris dan Direksi dapat dianggap bertanggung jawab atas kerugiaj perusahaan.

Normal di pasal 27 dan pasal 59 sebenarnya bukan hal baru. Seperti di singgung di awal bahwa norma ini sudah ada pada UU Perseroan Terbatas. Di negara maju, norma ini sudah menjadi prinsip daripada hukum perusahaan. Di negara Angli Saxon misalnya mengenal prinsip duty of care dan standard of care. Duty of care dalam hukum perusahaan AS adalah kewajiban berhati-hati bagi anggota Direksi dan pegawai suatu perseroan dalam bertindak.

Sutan Remy Sjahdeini merangkum perbuatan yang dapat di kategorikan sebagai perbuatan yang tidak berdasarkan itikad baik antara lain, perseroan membeli properti yang lebih tinggi dari harga wajar, perseroan menjual properti dengan harga lebih rendah, Direksi memberikan kredislt dengan tidak melalui analisis yang baik sesuai peraturan dan AD ART dan direksi memperoleh manfaat pribadi dengan memanfaatkan transaksi dari perseroan (Manahan, 2017).

Fiduciary Duty

PP 23/2022 mempertegas kewajiban fiduciary duty daripada direksi. Dalam hukum perusahaan doktrin fiduciary duty diterima secara umum dimana fiduciary duty adalah tugas dari seseorang yang disebut “trustee” Yang terbit dari suatu hubungan hukum antara trustee dengan pihak lain yang di sebut beneficiary. Dimana pihak beneficiary memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap pihak trustee oleh karena itu pihak trustee memiliki kewajiban yang tinggi untuk menjaga dan melaksanakan kewajibannya dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.

Direksi pada perseroan umum atau BUMN adalah trustee dari mentri keuangan. Sehingga direksi maupun komisaris wajib memenuhi tanggung jawab fiduciary duty. Dalam fiduciary duty terdapat jenis kewajiban yaitu Duty of loyalty adalah to protect the interests of the company and its stockholeders dan to refrain from doing anything that would injure the company.

Duty of care dimana a director must proceed with “critical eye” In assesing information presented to him or her and must perform his responsibilities with a care. Selanjutnya adalah duty of good faith dan duty of disclosure. Beritikad baik dan terbuka. Duty of loyalty dan duty of care adalah dua kewajiban utama.

Philip Lipton dan Abraham Herzberg membagi fiduciary duty terdiri dari to act bona fide in the interest of the company, to exercise power for their proper purposes, to retain discretion power dan to avoid conflicts of interests (Manahan 256, 2017)

Dalam sistem hukum perusahaan Inggris ada yang di kenal dengan salomon principle dimana terdapat perbedaan antara perusahaan dan pemegang saham dan direksi. Sehingga kerugian yang dialami oleh perusahaan tidak dapat dimintakan pertanggung jawabannya pada pada pengurus. Prinsip ini di ambil dari putusan the house of Lords tahun 1897. Akan tetapi prinsip ini dapat diabaikan dengan beberapa pengecualian baik pengecualian berdasarkan UU maupun putusan hakim. dimana pengurus dianggap bertanggung jawab atas kerugian yang dialami Perseroan.

Sebagaimana dalam putusan hakim Lord Denning MR dalam kasus Wallersteiner versus Moir (1974) dimana dalam putusannya menetapkan bahwa hutang yang dibuat atas nama perusahaan harus di perlakukan sebagai utang diretur. Dimana direktur bertanggung jawab secara pribadi (Hage, 1995)

Oleh karena itu, keluarnya PP 23 tahun 2022 dapat menjadi obat bagi carut marut BUMN di tanah air. Memberikan kepastian hukum dalam pertanggungjawaban pengelolaan perseroan di BUMN yang kerap kali mengalami kerugian dengan tanpa pertanggungjawaban yang pasti.

Kasus “Sangkola” Menurut UU ITE & Restorative Justice

Foto : sangkola / kasoami / kantofi

Media sosial khususnya Facebook tengah heboh atas beredarnya sebuah tangkapan layar yang berisi tentang sebuah pesan singkat melalui aplikasi messenger yang di duga kuat bermuatan penghinaan atas suku Buton.

Tangkapan layar tersebut berisi “pesan” Dari AFL kepada seseorang yang kini viral di media sosial telah mendapat tanggapan beragam, bahkan sebagian pihak telah menempuh jalur untuk untuk meminta pertanggungjawaban terduga pelaku atas pernyataannya yang telah menyinggung perasaan orang Buton.

AFL menulis dalam pesannya :

Krna yang bt lia di hurnala kebanyakan orng Buton thu dong badaki, rmh badaki, zg ada marga, bru dong pung mkanan sangkola.. Jadi bt zg bisa tinggal hidup deng dng orang buton apalagi se tau beta anak kesehatan tho jadi musti bersih 🙏🙏

Pesan AFL tersebut dinilai banyak pihak telah menghina suku Buton. Banyak orang Buton dari berbagai daerah ramai-ramai mencuit tentang sangkola menanggapi pesan AFL. Nah, apakah “pesan” AFL ini memenuhi unsur penghinaan, baik dalam KUHP maupun UU ITE.

Dalam KUHP penghinaan termasuk dalam suatu bentuk kejahatan. Dalam KUHP penghinaan diatur dalam pasal 310 sampai 321. Bentuk penghinaan dalam KUHP, dengan berkembangnya teknologi kemudian di serap dalam UU ITE yaitu UU Nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi Elektronik dan kemudian di ubah dengan UU Nomor 19 tahun 2016 tentang ITE.

Tentang penghinaan melalui media elektronik dalam UU ITE diatur dalam pasal 27 ayat 3 yang berbunyi :

setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”

Ada beberapa unsur dalam pasal ini sebagai berikut :

1. Unsur setiap orang, orang adalah perorangan baik warga negara indonesia, warga negara asing, maupun badan hukum

2. Dengan sengaja tanpa hak yaitu tindakan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan yang telah direncanakan atau di niatkan terlebih dahulu dan tanpa sepengetahuan dari orang yang berhak.

3. mendistribusikan adalah mengirimkan dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada banyak Orang atau berbagai pihak melalui Sistem
Elektronik.

4. mentransmisikan adalah
mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang ditujukan kepada satu pihak lain melalui Sistem Elektronik.

5. Membuat dapat diakses adalah semua perbuatan lain selain mendistribusikan dan mentransmisikan melalui Sistem Elektronik yang menyebabkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dapat diketahui pihak lain atau publik.

6. Informasi Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Sedangkan yang dapat menjadi objek dari penghinaan dan pencemaran nama baik dapat digolongkan menjadi : (1) pribadi perorangan (2) kelompok atau golongan (3) suatu agama (4) orang yang sudah meninggal (5) para pejabat yang meliputi pegawai negeri, kepala negara dan wakilnya dan pejabat perwakilan asing..

Pasal 27 ayat 3 dalam UU ITE sebagaimana “akarnya” Di KUHP juga merupakan delik aduan absolut. Sehingga agar kasus ini di proses oleh APH harus terlebih dahulu dilakukan oleh pihak korban.

Dalam kasus sangkola, AFL hanya mengirimkan pesan privat kepada seseorang yang oleh orang yang dikirimi pesan tersebut kemudian di screenshoot dan disebarkan. Jadi dalam peristiwa ini terdapat dua subjek hukum yang saling berkaitan satu sama lain.

Menilai secara sederhana di frasa seperti “kebanyakan orang Buton badaki… Menurut hemat kami dapat djkategorikan sebagai perbuatan merendahkan martabat orang lain. . Dalam arti memenuhi unsur penghinaan. Sebagaimana R.Soesilo dalam tafsir KUHP menyebutkan bahwa kata penghinaan dalam pasal 310 KUHP memiliki arti merendahkan martabat seseorang.

Sedangkan terkait terduga subjek pelaku sesungguhnya keduanya dapat dimintai pertanggungjawaban karena satu berperan sebagai yang “mentransmisikan” Dan satu lagi “mendistribusikan”. Hanya tentu kembali lagi pada delik pasal ini adalah delik aduan yang artinya tergantung pada laporan yang dibuat di hadapan APH.

Mediasi

Walaupun terduga –menurut hemat kami telah memenuhi unsur, akan lebih elok jika kasus ini diselesaikan secara kekeluargaan. Pada beberapa picture yang berbeda nampak terduga pelaku sudah memohon maaf atas kekhilafannya. Oleh karena itu akan lebih baik jika diselesaikan melalui restorative justice.

Hal ini tentu akan di upayakan oleh pihak kepolisian mengingat Surat edaran Kapolri bernomor: SE/2/11/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif, dimana dalam surat edaran tersebut diperintahkan kepada penyidik polri yang menangani kasus berkaitan dengan penerapan UU ITE untuk lebih mengedepankan upaya perdamaian antara kedua belah pihak dan mengutamakan restorative justice.

Penerapan restorative justice dalam permasalahan ini akan memberikan kemanfaatan bagi terduga pelaku dan para korban. Sehingga meningkatkan kohesi sosial masyarakat.

Permendikbud 30 antara Moral dan Hukum Positif

La Ode Sakiyuddin

Ramai penolakan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Tidak tanggung-tanggung, penolakan ini datang dari berbagai elemen, mulai dari masyarakat biasa, praktisi, hingga Ormas seperti Muhammadiyah.

Penolakan atas permendikbud ini didasari oleh beberapa alasan, yang menurut pantauan penulis, mulai dari aspek materil hingga formil. Tetapi mayoritas menolak permendikbud ini dari aspek materil. Hal ini menimbulkan perdebatan hukum yang a lot diantara para pihak, karena tidak sedikit pula yang mendukung pemberlakuan permendikbud ini.

Permendikbud atau peraturan mentri diatur dalam pasal 8 ayat 1 UU 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Pasal 8 ayat 1 UU No. 12 tahun 2011 berbunyi :

Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan,lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota, Bupati Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

Dari sudut pandang teori hierarki hukum Hans Nawiasky, peraturan mentri masuk dalam golongan norma verordnung dan autonome satzung. Verordnung dan autonome satzung berfungsi sebagai norma yang mengatur tentang pelaksanaan dan eksekusi (politieke daad) dari undang-undang. Verordnung dibentuk berdasarkan pelimpahan kewenangan pengaturan (delegated legislation) dari suatu UU atau peraturan yang lebih tinggi. Sedangkan autonome satzung atau peraturan otonom adalah peraturan perundang-undangan yang di bentuk berdasarkan pemberian kewenangan pengaturan (atributive legislation) dari suatu UU kepada lembaga tersebut.

Karena sampai saat ini RUU Pencegahan kekerasan seksual (RUU PKS) belum juga di sahkan maka pembentukan permendikbud 30 tahun 2021 adalah murni kewenangan dari lembaga negara atau autonome satzung.

Bahwa pembentukan permendikbud 30 didasari oleh keprihatinan atas meningkatnya kekerasan seksual dilingkungan perguruan tinggi. Yang justru menurunkan kualitas pendidikan tinggi. Selain itu permendikbud ini penting untuk menjamin kepastian hukum dari pencegahan kekerasan seksual di dunia perguruan tinggi. Semua pihak mengakui pentingnya permendikbud ini hanya saja beberapa “kelemahan” Dianggap harus segera di perbaiki, oleh sebagian pihak seharusnya di cabut.

Jimly Asshidiqie menulis 4 bentuk kegiatan dalam pembuatan peraturan perundang-undangan yaitu (1) Prakarsa pembuatan UU (2) pembahasan rancangan UU (persetujuan atas UU dan ( 4) pemberian persetujuan UU. Jusrina Rizal menulis dalam masalahnya yang berjudul “Sosiologi perundang-undangan” Mengatakan bahwa salah satu tahap pembentukan perundang-undangan adalah tahap penelitian. Dimana tahap penelitian ini adalah suatu kegiatan ilmiah untuk mendapatkan data akurat terkait dengan permasalahan dan dapat dilakukan oleh pihak manapun termasuk perguruan tinggi dan masyarakat pada umumnya.

Pada tahap inilah segenap informasi penting terkait pembentukan perudangan-undangan yang dimaksud dapat dikaji secara holistik. Agar pada tahap post legislatif peraturan perundang-undangan tersebut dapat diterima oleh semua pihak. Hal ini sejalan dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan dalam pasal 5 UU/12/11. Yaitu asas keterbukaan.

Mengingat Indonesia adalah negara yang berdasarkan pancasila yang berdasarkan nilai-nilai ketuhanan yang maha Esa maka pembentukan peraturan perundang-undangan harus sesuai adalah cita hukum nasional.

Banyaknya penolakan ini terjadi karena keterbukaan keterbukaan sebagaimana tertuang dalam asas pembentukan peraturan perundang-undangan di UU 12/11. Terutama terhadap kelompok agamis yang sangat keras menentang produk permendikbud ini. Dengan tudingan berpotensi melegalkan hubungan seksual diluar nikah.

Indonesia mungkin bukan negara agama tetapi juga bukan negara sekuler seperti Jerman yang tegas memisahkan agama dan negara. Sehingga nilai-nilai moral atau agama kerap di susupkan pada peraturan perundang-undangan dan menjadi nilai berbangsa dan bernegara yang oleh Paul Bohannan disebut double legitimation. Nilai yang terlegitimasi moral sosial dan setelah itu oleh proses legislasi.

Terkait nilai-nilai moral penting juga untuk ketahui bahwa tidak selamanya nilai moral menjadi hukum positif. Tetapi nilai moral sangat penting untuk menjadi landasan bagi penerimaan hukum positif. Jaap Hage menulis “Legal rules are often compared to and contrasted with moral rules. One reason why this happens is because we consider it desirable that the law does not violate
morality. Conformity of the law with morality is, in the eyes of some a precondition for the existence of law: a rule that clearly violates morality would not be a binding legal rule at all.

Hukum positif dalam menurut sebagian orang, mengutip Hage, yang bertentangan dengan moral tidak akan mengikat sebagai hukum. Akan tetapi masih menurut Hage, hukum dan moral juga memiliki perbedaan, hukum mengatur tentang apa yang harus dan tidak harus dilakukan. Disini ada kewajiban dan larangan. Tidak ada daerah abu-abu. Yang berbeda dengan moral banyak terdapat ruang abu-abu. Karena moral menunjuk pada sesuatu yang baik dan kurang baik dan tidak baik.

Salah satu nilai moral yang melekat kuat di benak masyarakat adalah dilarang berhubungan seksual diluar pernikahan. Dalam standar moral hal itu tidak baik. Tetapi fakta keberadaan praktik ini juga tidak dapat dinafikan begitu saja. Baik fenomena hubungan diluar nikah sama sekali atau dengan hubungan pernikahan siri yang kerap di salah gunakan di banyak tempat.

Tentang hubungan seksual di luar pernikahan di Indonesia memang tidak diatur secara ekspresive verbis. Pasal pidana tentang ini seperti di 290 atau 284 KUHP mensyaratkan keadaan tertentu yaitu salah satu pihak telah terikat dalam ikatan perkawinan. Terkecuali pada delik pemerkosaan. Yang tentu derajatnya sudah jauh lebih tinggi daripada pelecehan. Atau dengan korbannya di bawah umur.

Tentu menjadi salah jika permendikbud justru memuat delik pelarangan tentang hubungan diluar nikah. Apalagi menyertakan sanksi. Karena hal ini bukan domain daripada permen. Tetapi UU. Karena permen hanya merupakan peraturan pelaksana dari UU. Tidak bisa ada norma baru dalam sebuah permen yang lebih luas dan lebih kuat daripada UU. Permen hanya memperjelas apa yang tertuang dalam peraturan diatasnya. Seharusnya materi ini diatur dalam sebuah UU tersendiri. Atau include dalam KUHP baru.

Banyak pihak yang mengkritisi frase “tanpa persetujuan korban”. Frase ini memang menggelitik. Tentu jika di raba mungkin maksud pembuat permen adalah jika seseorang setuju untuk melakukan kegiatan dalam pasal 5 Permendikbud 30 maka hal tersebut bukanlah pelecehan. Benarkah demikian?

Pencantuman frase tanpa persetujuan korban sebenarnya berlebihan. Karena akan menyulitkan pembuktian. Di satu sisi kedudukan antara korban dan pelaku dalam relasi pelecehan seksual terkadang tidak setara. Sehingga bisa saja pelaku berupaya mendapatkan persetujuan walaupun dengan cara-cara kekerasan yang oleh karena itu dapat menjadi baru sandungan terhadap kelanjutan penyelidikan. Namun penulis juga tidak setuju jika mengasosiasikan frase “tanpa persetujuan korban” sebagai anjuran hubungan seksual diluar nikah. Tidak adanya pelarangan bukan berarti anjuran. Tidak adanya larangan maka disana ada kekosongan hukum yang harus segera di isi.

Tindak pidana Hak Cipta Atas Karya Tulis di Media Elektronik.

La Ode Sakiyuddin

Kemajuan teknologi informasi telah juga berdampak pada berbagai bidang kehidupan lain, salah satunya di bidang hukum. Segala kemudahan yang diberikan oleh teknologi informasi membuat siapapun dapat –dimana saja memproduksi suatu karya cipta –yang dapat langsung dipublikasikan melalui kanal-kanal media elektronik baik yang non profit maupun bertujuan mendatangkan keuntungan.

Salah satu bentuk karya cipta itu adalah karya tulis. Baik itu berbentuk puisi, opini, reportase, dan sejenisnya, yang oleh penulis dapat dengan mudah di publikasikan melalui media elektronik seperti blog, kanal opini media, media sosial dan lain sebagainya.

Karya tulis masuk sebagai salah satu hak cipta yang dilindungi oleh undang-undang. Sebagaimana di atur dalam pasal 95 ayat 1 UU 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC) perubahan atas UU No 19 tahun 2002 tentang hak cipta. Dimana di pasal ini di pertegas kepentingan hukum hak cipta yang dilindungi oleh adalah terhadap ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan senja dan sastra yang terdiri atas –salah satunya buku, pamflet, perwajahan karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lainnya.

Hak cipta adalah hak ekslusif (exclusive right) yang terdiri atas hal moral dan ekonomi. Dan hak cipta timbul berdasarkan prinsip deklaratif artinya terbitnya hak cipta tidak berdasarkan pendaftaran atau di mohonkan, melainkan terbit secara otomatis setelah ciptaan atau hasil ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan (Adami Chazawi, 2019)

Dengan prinsip deklaratif ini, membuat para penulis yang menerbitkan karya mereka secara mutatis mutandis dilindungi oleh UUHC. Perlindungan hukum terhadap penulis karya ini sangat penting bagi pengakuan atas karya tulis yang sebelumnya kurang mendapat perhatian dari pemerintah untuk dilindungi hak-haknya.

Publikasi karya –seperti di singgung di awal dapat dilakukan melalui media cetak dan elektronik. Keduanya tentu masuk dalam kategori “dalam bentuk nyata” Ketika terpublis. Saat ini banyak penulis yang memilih untuk mempublikasikan tulisan-tulisannya melalui blog atau media sosial. Sehingga dapat dengan mudah di baca bahkan di copy dan dipindahkan atau di cetak. Akibatnya hak-hak dari para penulis atau dengan kata lain pemegang hak cipta dari tulisan tersebut tidak dapat mengetahui secara pasti bagaimana karyanya diperlakukan.

Seperti contoh kasus yang mengemuka baru-baru ini. Ada seorang penulis yang mempublikasikan tulisannya melalui blog gratisan. Kemudian oleh pihak lain tulisan itu di copy dan dikumpulkan menjadi sebuah buku (e-book) dan di halaman sampulnya tertulis nama pen-comot tulisan sebagai editor tanpa terlebih dahulu meminta izin kepada penulis aslinya. Walaupun dalam e-book yang disebarkan luaskan itu tetap melampirkan nama penulis aslinya.

Peristiwa seperti itu tentu mengganggu nalar kita. Bahwa hak ekslusif sebuah karya telah di “perkosa” Oleh pihak lain dan tentu sangat merugikan penulis aslinya.

Langkah hukum apa kira-kira yang harus di tempuh oleh sang penulis ?. karena siapa saja bisa mengalami hal seperti itu. Apalagi publikasi lewat e-book tidak dapat di tarik dari peredaran seperti halnya buku cetak. Hal ini tentunya menambah kerumitan dan membutuhkan pemecahan hukum yang tepat guna memberikan keadilan dan kepastian hukum terhadap para pihak terutama kepada pemilik hak cipta atas suatu karya tulis.

Dalam UUHC selain bersifat administratif, juga bersifat perdata dan pidana. Cara penyelesaian sengketa hak cipta secara perdata yaitu dapat melalui pengadilan atau litigasi melalui pengadilan niaga, arbitrase, dan alternatif penyelesaian sengketa. Akan tetapi yang menjadi fokus daripada tulisan ini adalah menyangkut tindak pidana daripada pelanggaran atas hak kekayaan intelektual khususnya hal cipta.

Pada UUHC terdapat 7 pasal yang mengatur tentang sanksi pidana hak cipta, yaitu dari pasal 117 sampai pasal 119 UUHC. Dari ketujuh pasal tersebut yang berkaitan dengan izin pencipta atau pemegang hak cipta ada di pasal 113 ayat 3 jo pasal 9 ayat 1 jo huruf a, huruf b, huruf e, dan huruf g, yang jika di rumuskan menjadi satu naskah menjadi :

Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta atau pemegang hak cipta berupa penerbitan ciptaan, penggandaan ciptaan dalam segala bentuknya, atau pendistribusian ciptaan atau salinannya, atau pengumuman ciptaan, untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan denda paling banyak 1.000.0000.000.000 (satu miliar rupiah) “

Tentu jika mencermati unsur pasal ini, untuk dapat dipidana maka si pelaku harus “menggunakan secara komersial”. Maka jika seseorang menerbitkan sebuah karya tulis hasil copy an tanpa izin dari penulis aslinya tanpa tujuan komersial maka ia tidak dapat dipidana dengan pasal ini.

Demikian pula yang terdapat pada pasal 113 ayat 2 jo pasal 9 ayat 1 huruf C, jurus d, huruf f, dan/atau huruf h. Juga terdapat penekanan unsur penggunaan secara komersial.

Sementara pada kasus diatas si pelaku penggandaan dan penyebaran karya tulis tanpa izin pencipta dan pemegang hak tidak untuk tujuan komersial atau mencari keuntungan ekonomi. Disisi lain kerugian pencipta secara immateril tentu tidak dapat dinafikan. Akibatnya penghargaan atas hak cipta atau secara umum kekayaan intelektual menjadi terdegradasi sehingga dibutuhkan payung hukum baru untuk melindungi atau minimal mencegah pihak lain yang tidak bertanggung jawab untuk dengan sengaja tanpa hak melakukan publikasi tulisan orang lain. Karena sebagaimana di singgung oleh Eddy Damian (2005) penegakan hukum hak cipta terkendala cukup berat karena kurangnya budaya atau etika bangsa Indonesia untuk mau menghargai ciptaan seseorang dan kurang pemahaman masyarakat dan penegakan hukum tentang arti dan fungsi hak cipta serta kurangnya fungsi pencegahan (deterrent) dari UUHC yang telah berlangsung lama.

Apa yang dikemukakan oleh Eddy Damian tersebut lebih kepada kultur hukum dan saat ini perlu penekanan pada substansi hukum dengan membatasi atau memberikan sanksi pidana kepada pelanggar hak cipta dengan atau tanpa tujuan komersial. Karena walaupun tanpa tujuan komersial si pelaku memperoleh keuntungan immaterial secara cuma-cuma.

Pinangki dan Batas-batas Keadilan

La Ode Sakiyuddin

Publik kembali di buat terluka, setidaknya itu terungkap pada reaksi warga net setelah mengetahui putusan pengadilan tinggi atas kasus yang menyeret jaksa pinangki, yang terlibat kasus suap oleh pengusaha sempat buron Djoko Tjandra.

Pengadilan tinggi Jakarta memangkas hukuman pinangki dari 10 tahun menjadi 4 tahun dengan pertimbangan hukum bahwa pinangki adalah seorang perempuan dan memiliki seorang balita yang butuh peran seorang ibu. Hal itu tertuang di dalam Putusan nomor 10/PID.SUS-TPK/2021/PT DKI yang diputuskan pada Selasa (8/6/2021).

Putusan PT jakarta itu bukan saja mengundang reaksi masyarakat umum, tetapi juga mantan terpidana kasus angelina sondakh juga angkat bicara mengingat ia pernah di mendapat hukuman yang lebih tinggi dengan penambahan hukuman dari 4.5 Tahun menjadi 12 Tahun, padahal pada saat itu anjelina juga memiliki bayi seperti yang kini juga di alami pinangki.

Tentunya benar, bahwa sistem hukum di Indonesia adalah eropa kontinental bukan common law yang menganut the binding of precendent dimana hakim terikat oleh putusan hakim terikat oleh putusan hakim yang lebih dulu untuk perkara yang memiliki keidentikan. Akan tetapi dalam praktek untuk menjamin keteraturan dan keragaman putusan tidak sedikit hakim yang mendasarkan putusannya kepada putusan hakim yang lebih dulu incrah, terlebih pada kasus-kasus yang belum ada aturan hukum yang mengaturnya. Sehingga hakim diberikan kewenangan hukum melakukan penafsiran dan penemuan hukum (rechtvinding).

Disisi lain, keadilan adalah topik yang debatble. Para ahli hingga filosof telah terlibat diskusi dalam waktu yang panjang tentang apa itu keadilan. Para ahli hukum sendiri memiliki pandangan yang beragam atas keadilan. Misalnya Hans Kelsen yang menganggap keadilan itu adalah masalah psikologis atau lebih tepatnya ideologis dan hukum harus di jauhkan dari anasir-nasir semacam itu.

Berbeda Aristoteles atau Aquinas yang berasal dari eksponen hukum alam begitu menekankan pentingnya keadilan dalam sebuah putusan hukum. Plato juga mengemukakan keadilan metafisik yang menurutnya keadilan itu bersumber dari inspirasi dan intuisi. Sedangkan Aristoteles lebih menekankan pada prinsip-prinsip umum rasionalitas tentang keadilan.

Berbeda lagi dengan penganut positivisme hukum yang menolak keadilan karena tidak ada rumus yang pasti untuk itu. Adil menurut anda belum tentu adil menurut yang lain. Oleh karena itu menjamin penerapan legalitas suatu aturan hukum adalah keadilan itu sendiri. Hakim itu hanya bouche de la loi, hakim hanya terompet UU.

Mendukung pandangan positivisme hukum Montesqiue pernah berkata, “hakim-hakim rakyat, tidak lain hanya corong yang mengucapkan teks undang-undang. Jika teks itu tidak berjiwa dan manusiawi, para hakim tidak boleh mengubahnya, baik tentang kekuatannya, maupun tentang kekuatannya”.

Demikian juga dengan Jean Jacques Rosseau yang berpendapat bahwa kekuasaan tertinggi kehendak rakyat dan kehendak rakyat ini di wujudkan dalam UU. Sehingga siapapun yang menentang UU maka ia berarti menentang kehendak rakyat.

Belakangan aliran positivisme hukum mengalami kritikan dari para teoritikus. Bermula dari aliran realisme yang tumbuh subur di Amerika Serikat. Basis realisme di Amerika sendiri bermula penerimaan realisme filosofis yang dipengaruhi oleh W. James dan J. Dewey (1859-1952). James menolak “kemutlakan dana kepura-puraan belaka” Hal ini berarti the open air and the possibilities of nature yang bertentangan dengan kepalsuan dan kemunafikan finality of truth.

Teoritikus keadilan paling mutakhir, John Rawls menawarkan suatu pendekatan baru atas terwujudnya keadilan. Bahwa menurutnya keadilan bisa terwujud diawali dengan kebebasan (freedom) dan kesempatan yang sama untuk semua orang (fairness). Rawls menekankan keadilan itu adalah fairness yang mengandung asas-asas bahwa orang merdeka dan rasional yang berkehendak dan memasuki perkumpulan atau masyarakat dengan kehendak itu berubah menjadi kebijakan politik atau aturan-aturan yang mana aturan ini merupakan ukuran tentang apa yang menjadi hak.

Meramu berbagai sudut pandang tentang keadilan Gustav Radbruch kemudian merumuskan tujuan hukum berupa keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.

Sebagai pemutus perkara yang menjalankan peraturan perundang-undangan tentu hakim harus dapat mewujudkan keadilan yang tercermin dan kehendak bersama yang merupakan sari pati kehendak rakyat. Dan memastikan masyarakat mendapatkan hak-haknya yang telah terumus pada kehendak bersama. Seperti yang terjadi dalam kasus pinangki, setiap orang dapat dapat berpendapat tentang seberapa adil putusan itu, akan tetapi nampak putusan hakim belum mampu menjawab keadilan substansial yang diharapkan oleh masyarakat. Apalagi putusan ini sudah berkekuatan hukum tetap (incrah van gewisjde). Tidak ada yang dapat dilakukan oleh masyarakat selain hanya mengutuk sehingga ketidakpeduliaan terhadap tatanan penegakan hukum semakin tinggi. Hal itu terjadi karena hak masyarakat untuk mendapatkan perlakukan sama secara sangat tercederai.

Terobosan hukum

Dalam hukum pidana kita, putusan yang telah berkuatan hukum tetap masih bisa di uji kembali melalui upaya hukum luar biasa yang bernama peninjauan kembali. Peninjauan kembali secara normatif diatur dalam pasal 263 KUHAP. Ada tiga adalah yang dapat dijadikan dasar permintaan peninjauan kembali, sebagaimana diatur dalam. Pasal 263 ayat 2 yaitu, novum atau bukti baru, bukti hal atau keadaan yang terbukti ternyata bertentangan satu dengan lain, dan apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

Apakah putusan hakim terhadap pinangki terdapat kekhilafan dan kekeliruan? Tentu ini sangat dapat diperdebatkan. Hanya saja upaya hukum ini terbatas pada –sebagaimana disebutkan pada ayat 1 pasal 263 –terpidana dan ahli warisnya. Tidak untuk pihak ketiga atau masyarakat umum. Bahkan Jaksa. Terkait para pihak yang boleh mengajukan PK di mahkamah Agung melalui yurisprudensi kasus Muchtar Pakpahan membolehkan Jaksa mengajukan permintaan penjauan kembali. Namun untuk pihak korban atau pihak ketiga masih belum diterima seperti pada putusan PK atas kasus Ida Bagus gede Manuaba pada tahun 2001.

Tentu harus ada terobosan hukum disini. berupa pemberian ruang pihak ketiga untuk mengajukan PK. Mengingat kasus korupsi merugikan seluruh masyarakat dan masuk sebagai serious crime, sudah sangat layak apabila diperluas hingga diperbolehkannya masyarakat yang umumnya menjadi korban perilaku koruptif untuk menjadi pemohon pengajuan PK di MA.

Hal ini sangat penting untuk pembangunan hukum pidana kita yang selama ini telah forgotten people in the system menurut William F. MacDonald (1977). Lanjut William, The Criminal justice system is not for his benefit for the community’s. Purposes to deter crim, rehabilitasi criminal, punish criminal, and do jsutice, but not to restore their wholeness or to vindicate them.

Hukum pidana hanya berorientasi untuk menghukum pelaku tetapi lupa dengan keadaan atau yang dialami korban dengan segala haknya. Ini dapat menjadi dasar pemikiran sehingga MA membuka ruang bagi pihak ketiga dalam kasus korupsi untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali atas kasus korupsi yang di nilai di putus secara tidak adil.

Problematika Definisi Perjanjian Menurut Doktrin

Oleh : La Ode Sakiyuddin

Perjanjian (overenkomst) sering dipadankan dengan perjanjian (verbintenissen). Namun dalam tataran operasional, ketika menyebut perjanjian maka konotasinya adalah kontrak atau perikatan.¹

Pada umumnya untuk mendefinisikan perjanjian dalam Burgelijk Wetboek (BW) selalu mengacu pada pasal 1313 BW yang berbunyi :

Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih”.

Defisini menurut pasal 1313, dikritik Subekti². Seolah pasal 1313 mendefinisikan perjanjian sebagai perbuatan sepihak padahal secara umum perjanjian merupakan timbal balik dari para pihak yang mengikatkan diri didalamnya. Misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa, gadai dan lain-lain

Apakah benar bahwa defisini perjanjian menurut BW mengkaburkan esensi perjanjian itu sendiri?

Perlu diketahui bahwa pada pasal 1233 BW dibedakan jua jenis perikatan yaitu, perikatan yang lahir dari persetujuan dan perikatan yang lahir karena undang-undang. Perjanjian yang lahir dari persetujuan adalah merupakan perjanjian timbal balik. Sebagaimana yang diungkap oleh Subekti. Jadi jikalau mengacu pada pasal 1233 maka perjanjian melalui persetujuan kedua bela pihak secara timbalik balik itu justru tidak lengkap. Karena ada pula perjanjian yang lahir karena undang-undang.

Namun begitu para ahli banyak yang sepakat dengan pendapat Subekti. Seperti misalnya Riduan Syahrani mendefinisikan perjanjian dengan hubungan hukum antara dua pihak dalam lapangan harta kekayaan dimana salah satu pihak bertindak sebagai kreditur yang berhak atas prestasi (kewajiban) tertentu dan pihak lain sebagai debitur berkewajiban memenuhi prestasi tersebut.

Definisi perjanjian menurut Riduan Syahrani tentu spesifik pada perjanjian dalam arti yang bersumber dari persetujuan. Ada beberapa unsur perjanjian menurut Riduan Syahrani, yaitu (1) hubungan hukum dilapangan harta kekayaan, para pihak yaitu kreditur dan debitur, dan prestasi. Pertanyaanya apakah semua perjanjian itu selalu menyangkut harta kekayaan dan terdiri dari dua pihak dan harus ada prestasi?. Bagaimana dengan perjanjian yang lahir karena UU?. Oleh karena itu definisi perjanjian ini bukan perjanjian yang dalam arti luas, karena hanya menyangkut perjanjian yang lahir dari persetujuan.

Demikian pula definisi perjanjian menurut Yahya Harahap yang banyak digunakan oleh para hakim dalam putusannya. Hakikatnya tidak berbeda jauh dengan defisini Riduan Syahrani. Unsurnya terdiri dari hubungan hukum harta kekayaan, para pihak dan prestasi. Oleh Natsir Asnawi menekankan bahwa hubungan hukum dalam perjanjian menurut yahya harahap adalah hubungan hukum yang dikehendaki para pihak bukan hubungan hukum yang lahir dengan sendirinya atau lahir karena adanya undang-undang³.

Dengan demikian maka sesungguhnya defisini menurut para ahli banyak hanya memandang perjanjian berdasarkan persetujuan. Tidak mencakup perjanjian karena UU.

Hal ini dapat dicermati melalui Pasal 1354 KUHPerdata, yang berbunyi :

jika seseorang dengan sukarela tanpa ditugaskan, mewakili urusan orang lain, dengan atau tanpa setahu orang itu, maka ia secara diam-diam mengikatkan dirinya untuk meneruskan serta menyelesaikan urusan itu, hingga orang yang ia wakili kepentingannya dapat mengerjakan sendiri urusan itu. Ia harus membebani diri dengan segala sesuatu termasuk yang termasuk urusan itu. Ia juga harus menjalankan segala kewajiban yang harus ia pikul jika ia menerima kekeuasaan yang dinyatakan dengan tegas”.

Frase secara diam-diam mengikatkan dirinya sendiri jelas tidak tercakup dalam definisi menurut pada ahli diatas. Justru pasal ini lebih erat kaitannya dengan pasal 1313. Dapat dilihat pada frase “satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih.

Sebagai kesimpulan disini bahwa walaupun pasal 1313 dianggap kabur oleh Subekti dan para ahli lainnya, justru pasal itu lebih serasi dengan perjanjian yang lahir karena undang-undang. Sedangkan definisi menurut para ahli itu lebih kepada perjanjian yang lahir dari persetujuan yang artinya bukan perjanjian dalam arti luas. []

Catatan kaki :

1. Natsir Asnawi, Pembaruan hukum perdata, hal 67

2. Ibid

3.Ibid

Klausula Eksonerasi Pada Kontrak Baku

Seringkali kita menjumpai pemberitahuan atau pengumuman di tempat perbelanjaan yang berbunyi begini :

Barang yang telah dibeli tidak dapat di tukar kembali” atau “memecahkan barang berarti membeli”. Juga terkadang terdapat pada karcis parkir yang berbunyi “barang berharga jangan ditinggalkan didalam kendaraan, karena diluar tanggung jawab penjaga parkir”.

Demikian itu adalah contoh daripada perjanjian baku atau kontrak baku. Kontrak baku sebenarnya sudah dikenal sejak zaman Yunani kuno. Plato (424/347 SM) misalnya pernah memaparkan praktik penjualan makanan yang harganya ditentukan secara sepihak oleh sipenjual, tanpa memperhatikan perbedaan mutu makanan tersebut (Aulia Muthiah, 2018).

Dalam rumpun hukum perjanjian di Indonesia dikenal luas asas kebebasan berkontrak yang termaktub dalam apsal 1338 BW. Dimana setiap orang diberi hak oleh UU untuk berkontrak atau membuat suatu perikatan. Dan perikatan tersebut berlaku sebagai UU bagi kedua belah pihak. Asas ini biasa disebut dengan pacta sunt servanda.

Jika yang mengadakan kontrak berada dalam posisi yang sejajar secara ekonomi maka besar kemungkinan kontrak itu akan bersifat fair bagi kedua belah pihak. Benar-benar terjadi persetujuan oleh kedua belah pihak. Menjadi masalah ketika posisi kedua belah pihak tidak seimbang, sehingga satu pihak dapat dengan mudah memaksakan kehendaknya pada pihak lainnya. Terutama –misalnya debitur –sangat membutuhkan prestasi tertentu untuk kelanjutan hidup atau usahanya. Sehingga pihak yang berada dalam posisi kuat akan mendiktekan klausula kontrak yang merugikan pihak debitur.

Salah satu klausula yang dapat merugikan salah satu pihak atau debitur adalah yang dikenal dengan klausula Eksonerasi atau klausula eksemsi. Mariam darul badrulzaman menggunakan istilah klausula Eksonerasi sedangkan Downes menggunakan istilah klausula eksemsi.

Rijken mendefinisikan klausula Eksonerasi sebagai klausula yang dicantumkan di dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya dengan membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melawan hukum.

Sedangkan Sutan Remy Sjahdeni menjelaskan bahwa klausula eksonerasi adalah klausul yang bertujuan untuk membebaskan atau membatasi tanggung jawab salah satu pihak terhadap gugatan pihak lain dalam hal yang berangkutan tidak atau tidak dengan semestinya melaksanakan kewajibannya yang ditentukan dalam perjanjian tersebut.

Olehnya itu dalam UU perlindungan konsumen telah sudah diatur tata cara pembuatan klausula baku pada pasal 18 UUPK sekaligus sanksi bagi pelaku usaha jika melanggar kententuan pasal 18 ini.

Tentang klausula eksonerasi atau ekssi belum diatur tegas dalam UU. Tetapi secara umur dapat di tunjuk pasal 1337 BW yang menyatakan bahwa suatu perjanjian/kontrak tidak boleh bertentangan dengan UU.

Sehingga agar kontrak baku dapat diterima maka harus meniadakan klausula eksonerasi. Dimana dalam uraian defisini klausula eksonerasi menurut Remy Sjahdeni diatas dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat kalusula eksonerasi dibakukan dituangkan dalam formulir kontrak. Selain dalam bentuk kontrak, AZ Nasution menambahkan bahwa kontrak baku juga dalam bentuk dokumen. Kontrak ini sangat sederhana hanya permberitahuan dan berupa pengumuman yang harus dilaksanakan oleh para pihak. Seperti pada contoh diawal tentang tukang parkir.

Dengan mengikuti pendapat AZ Nasution maka –berbeda dengan Mariam darul badrulzaman –klausula eksonerasi juga dapat terjadi pada kontrak dalam bentuk dokumen.

Sebagai kesimpulan kontrak baku dapat dikatakan sah apabila tidak bertentangan dengan syarat sah kontrak (1320 BW), tidak ada unsur paksaan (dwang), kekeliruan atau kesesatan (dwaling) dan tidak ada penipuan (bedrog).

Hukuman Mati Dalam Tindak Pidana Korupsi

La Ode Sakiyuddin

KPK kembali menunjukan taringnya. Setelah hampir setahun tidak menggelar operasi tangkap tangan (OTT), beberapa minggu terakhir kebuntuan itu terpecahkan. Diawali OTT terhadap mentri KKP, Edhy Prabowo, Bupati Cimahi, Bupati Banggai Laut dan terbaru Mentri Sosial, Juliari Peter Batubara (JPB).

OTT mentri social Juliari Peter Batubara berkaitan dengan dana bantuan social (bansos) covid-19. Dimana turut diamankan barang bukti senilai Rp. 14,5 M yang terdiri dari pecahan rupiah, dollar singapura dan dollar amerika serikat.

Karena korupsi JPB terkait dana bansos covid-19, banyak pihak yang kemudian teringat kembali dengan ancaman ketua KPK pada awal tahun, bahwa sesiapa yang berani korupsi dana bansos covid-19 akan diancam dengan pidana mati.

Mungkinkah tersangka korupsi dana Bansos Covid-19 akan dituntut dengan pidana mati ?. sebelum menjawab pertanyaan tersebut, penting kiranya membahas konstruksi pidana hukuman mati dalam UU No 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

 Tentang pidana mati, merupakan jenis ancaman pidana baru dalam UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang tipikor. Hal mana, ancaman pidana mati tidak diatur dalam UU No 3 Tahun 1971 tentang Tipikor. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan atas UU No 31 Tahun 1999 yang lengkapnya berbunyi :

“Dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, Undang-undang ini memuat ketentuan pidana yang berbeda dengan Undang-undang sebelumnya, yaitu menentukan ancaman pidana minimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana mati yang merupakan pemeratan pidana”

Namun demikian, tentang hukuman mati bukan merupakan sesuatu yang benar-benar baru. Karena telah ada lebih dulu dalam KUHP. Dimana termuat dalam pasal 10 KUHP Bab II tentang pidana yang merupakan pidana pokok.

Walaupun dengan menguatnya isu hak asasi manusia yang mengedepankan penghargaan setinggi-tingginya atas nilai jiwa raga manusia yang kerap bermuara pada penolakan penerapan pidana mati, Indonesia tetap mengakui dan menerapkan hukuman mati baik yang terdapat dalam KUHP dan UU Khusus lainnya seperti pidana terorisme dan korupsi.

Beberapa teoritikus filsafat hukum klasik yang mendukung penerapan hukumana mati antara lain, E. Kant yang menyatakan hukuman adalah suatu pembalasan, berdasar atas pepatah kuno, siapa yang membunuh maka harus di bunuh. Pandangan Kant ini popular dengan teori pembalasan.

Sedikit berbeda dengan Kant, Feurbach berpendapat bahwa hukuman harus dapat membuat takut orang supaya tidak berbuat jahat. Sehingga pemikiran Feurbach popular dengan afchrikkingstheorie atau teori ketakutan (R. Soesilo, hal. 35). Dan oleh ketua KPK RI telah pula memberikan ancaman serupa –dengan hukuman mati — atas sesiapa yang berniat menggarong dana bansos Covid-19 namun hal ini ternyata tidak diindahkan.

Pidana mati dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK) hanya diatur pada satu pasal yakni pasal 2 yang lengkapnya berbunyi :

  1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
  2. Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.

Adami Chazawi  (2016:58) dalam bukunya hukum pidana korupsi di Indonesia ketika membahas pasal 2 UU  PTPK menyebutkan bahwa rumusan unsure tindak pidana korupsi pada pasal 2 ini mengandung unsur pokok yang sama dengan bentuk yang pertama hanya ada penambahan “dalam keadaan tertentu” pada ayat 2. Berikut unsur-unsur pasal 1 UU PTPK menurut Adami Chazawi :

  1. Memperkaya diri sendiri
  2. Memperkaya diri orang lain
  3. Memperkaya diri suatu korporasi
  4. Secara melawan hukum
  5. Yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.

Tentang memperkaya diri tidak ada keterangan lebih lanjut dalam UU termasuk penjelasannya. Dalam KUHP ada unsur menguntungkan diri seperti dalam pasal 368, 369, 378 KUHP yang oleh para ahli sepakat menguntungkan diri menurut ketiga pasal ini sebagai “memperoleh atau menambah kekayaan dari yang sudah ada” (PAF. Lamintang, 1978:276).

Tentang melawan hukum, disebutkan pada penjelasan pasal 2 ayat 1 UU PTPK bahwa :

Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formal, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat

Maka menurut R. Wiyono (2008:32) UU PTPK mengikuti ajaran sifat melawan hukum secara alternative yaitu ajaran sifat melawan hukum formil atau ajaran sifat melawan hukum materil. Roeslan Saleh (1987:7) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan melawan hukum materil berarti tidak saja hanya bertentangan dengan hukum tertulis tetapi juga bertentangan dengan hukum tidak tertulis.

Moeljatno dalam Asas-asas Hukum Pidana hal. 133 mengemukakan terdapat dua fungsi dari ajaran sifat melawan hukum materil yakni ajaran sifat melawan hukum materil dalam fungsi yang positif dan dalam fungsi yang negative. Dalam ajaran sifat melawan hukum materil yang positif berarti bahwa suatu perbuatan meskipun oleh peraturan perundang-undangan tidak ditentukan sebagai melawan hukum tetapi menurut penilaian masyarakat perbuatan tersebut dinilai melawan hukum maka perbuatan tersebut tetap merupakan perbuatan melawan hukum. Sebaliknya dalam ajaran sifat melawan hukum materil menurut fungsi yang negative bermakna bahwa walaupun peraturan perundang-undangan dianggap sebagai perbuatan melawan hukum sedangkan oleh penilaian masyarakat bukan merupakan perbuatan melawan hukum maka perbuatan tersebut dianggap sebagai bukan merupakan perbuatan melawan hukum.

Tentang merugikan keuangan Negara tidak ada penjelasan resmi dari UU PTPK. Adami Chazawi mengetengahkan kerugian keuangan Negara menurut UU No 1 Tahun 2004 tentang perbendaharaan Negara dan UU No 15 tentang BPK yang menyatakan bahwa kerugian Negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.

Menurut R. Wiyono dengan berpatokan pada apa yang dikemukakan oleh P.A.F Lamintang menyatakan bahwa sudah cukup jika terdapat alat-alat bukti yang dapat membuktikan kemungkinan terjadinya kerugiaan keuangan Negara atau perekonomian Negara, bahkan pelaku tidak harus membayangkan kemungkinan terjadinya kerugian keuangan dan perekonomian Negara.

Pandangan ini juga dianut oleh Mahkamah Konstitusi pada waktu ada permohonan uji materil atas UU PTPK dengan alasan unsur “dapat merugikan keuangan Negara dan perekonomian Negara pada pasal 2 ayat 1 bertentangan dengan kepastian hukum yang adil sebagaimana dimaksudkan oleh pasal 28D ayat 1 UUD 1945 dimana dalam menjatuhkan putusannya dengan putusan tanggal 24 juli 2006 Nomor 003/PUU-IV/2006 dalam satu pertimbangannya menyatakan bahwa “kata dapat dalam frasa merugikan keuangan Negara dan perekonomian Negara menunjukan bahwa tindak pidana korupsi tersebut merupakan delik formil yaitui adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsure perbuatan yang dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat.

Tentang hukuman mati dalam pasal ini yang terdapat pada ayat ke 2 terdapat tambahan unsure yang dilakukan dalam keadaan tertentu. Sedangkan unsure pokoknya sama dengan bentuk pertama atau ayat 1. Keadaan ini berupa unsure tambahan untuk memperberat pidana. Yang dimaksud dengan keadaan tertentu diterangkan dalam penjelasan pasal 2 ayat 2 sebagai berikut :  

“Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. “

Sementara oleh Presiden Joko Widodo telah menetapkan Covid-19 sebagai bencana nasional melalui Keputusan Presiden (Keppres) No 12 Tahun 2020 tentang penetapan bencana nasional non alam Covid-19. Sehingga KPK sangat layak  tanpa ragu menuntut Mentri Sosial dengan hukuman mati.

Hak Saisine dalam Hukum Waris BW

La Ode Sakiyuddin

Hukum waris (erfrecht) –menurut doktrin masuk dalam sistematika pembagian hukum perdata –bagian ke empat, setelah hukum kekayaan.

Hukum waris dalam BW diatur pada titel XII sampai dengan titel XVIII. Hukum waris dalam sistematika BW masuk dalam rejim hukum benda, hal itu karena dalam BW tepatnya pasal 584 KUHper meniru pasal 711 kode civil Perancis yang menegaskan bahwa hak milik atas suatu benda hanya dapat di peroleh melalui –salah satunya pewarisan.

Hukum waris menurut para sarjana pada pokoknya adalah peraturan yang mengatur perpindahan kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang (J.Satrio 1992:8).

Soepomo menjelaskan bahwa hukum waris memuat peraturan yang mengatur proses penerusan serta peralihan barang berwujud dan barang tidak berwujud dari suatu angkatan manusia pada keturunannya (Satrio Wicaksono 2011:2).

Sedangkan Wirjono Prodjodikoro menjelaskan bahwa hukum waris merupakan persoalan bermacam hak dan kewajiban tentang harta kekayaan seseorang saat ia meninggal dunia beralih kepada yang masih hidup.

Selanjutnya, dalam hukum waris BW terdapat banyak asas-asas hukum waris yang di gali dari pasal-pasal yang mengatur tentang waris. Salah satunya adalah yang mengatur tentang Hak Saisine.

Hak Saisine berasal dari suatu pameo Perancis “ke mort saisit le vif” yang artinya si orang meninggal mendudukkan (orang yang) hidup pada tempatnya.

Untuk lebih jelas memahami hak Saisine baiknya di kutip pasal 833 BW, sebagai berikut :

“Sekalian ahli waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak dan segala piutang yang meninggal … (Terjemahan R. Subekti & R. Tjitrosudibio hal 222)

Terjemahan Soedharyo Soimin, sebagai berikut :

“para ahli waris, dengan sendirinya karena hukum, mendapat hak milik atas semua barang, semua hak dan semua piutang orang yang meninggal”.

Perumusan undang-undang yang menyebutkan “… Dengan sendirinya memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak dan segala piutang…” Adalah kurang tepat karena yang menyebut aktiva nya saja padahal sebenarnya yang berpindah bukan aktivanya saja melainkan juga passiva atau hutang-hutangnya (Satrio 1992:87).

Jadi hak saisine adalah hak daripada ahli waris untuk tanpa berbuat suatu apa, otomatis/demi hukum menggantikan kedudukan si pewaris dalam lapangan hukum kekayaan.

Hak Saisine sangat berhubungan dengan hak hereditatis petitio yang diatur dalam pasal 834 dan 835 BW. Yaitu hak tuntut khusus benda-benda yang semula berada dalam warisan dikembalikan.

Dalam hukum waris Islam, hak Saisine ini identik dengan asas Ijbari. Amir Syarifudin dalam Aunur Rahim Faqih mendefinisikan asas Ijbari sebagai dengan meninggalnya si pewaris maka secara otomatis harta warisan beralih dengan sendirinya kepada si ahli waris (Aunur Rahim, 2017:32)

Ijbari secara etimologis mengandung arti paksaan. Yaitu melakukan sesuatu diluar kehendak diri sendiri dalam hal hukum waris yang berarti terjadinya peralihan harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup, tanpa ada perbuatan hukum dari si pewaris (Amir Syarifuddin, 2004:18)

Adanya unsur Ijbari dapat dipahami dari kelompok ahli waris sebagaimana disebutkan Allah SWT dalam ayat 11, 12, dan 176 Surat An-Nisa (M. Daud Ali, 2001:127).

Demikian penjelasan singkat tentang hak Saisine dalam hukum waris perdata. Yang memiliki kemiripan dengan hukum waris Islam. Walaupun pada akhirnya nanti sedikit terdapat perbedaan pada hak menolak dalam hukum waris perdata yang tidak terdapat pada hukum waris Islam. []