La Ode Sakiyuddin

Pada 8 juni 2022 Presiden Jokowi dodo dan Mentri Hukum dan HAM, Yasona Laoly mengeluarkan beleid PP No 23 Tahun 2022 perubahan atas PP No 45 tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara. Selanjutnya ada beberapa pasal yang di nilai menarik perhatian terkait pertanggungjawaban pribadi pengurus dan pengawas atas kerugian yang menimpa perum atau BUMN.

Hal tersebut di atur pada pasal 27 dan pasal 59 yang berbunyi sebagai berikut :

Pasal 27

(1) Setiap anggota Direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab tugas untuk
kepentingan dan usaha BUMN.

(2) Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian BUMN apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

Pasal 59

(1) Komisaris dan Dewan Pengawas wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha BUMN,


(2) Komisaris dan Dewan Pengawas bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian BUMN apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).

Pada kedua pasal tersebut terdapat causa identik yang menyebabkan tanggung jawab pengurus maupun pengawas suatu Perum dan BUMN sangat penting dalam hal –ketika –suatu perusahaan mengalami kerugian. Yaitu, itikad baik dan tanggung jawab. Norma ini sudah pula termuat pada UU perseroan terbatas dimana terdapat dalam pasal 97 ayat 1 dan 2 UU PT.

Itikad Baik

Salah satu asas penting dalam hukum perjanjian adalah asas keseimbangan. Dimana para pihak dalam melaksanakan perjanjian wajib dengan itikad baik. Namun demikian tidak ada penjelasan konkret terkait apa yang di maksud dengan itikad baik. Para ahli kemudian menjadikan yurisprudensi sebagai rujukan guna menafsirkan itikad baik berdasarkan temuan hakim. Misalnya pada putusan PT Surabaya Nomor 262/1951/pdt menafsirkan itikad baik sebagaimana yang terdapat dalam pasal 1338 BW adalah sebagai kejujuran (toe goeder trouw). Sedangkan di putusan PT Bandung tahun 1970 menafsirkan itikad baik sebagai sesuai kepatutan dan keadilan.

PP 23/2022 ini sangat dibutuhkan untuk mencegah praktik-praktik tidak bertanggung jawab yang kerap terjadi di BUMN. Dimana sering terjadi kepailitan BUMN tanpa ada pihak yang dianggap bertanggung jawab atas kerugian perusahaan. Padahal keuangan BUMN berasal dari APBN yang berarti uang Rakyat. Dengan adanya PP 23/2022 negara memberikan kewenangan kepada mentri selalu penanggung jawab untuk menggugat direksi maupun komisaris apabila kerugian yang dialami BUMN terjadi akibat kelalaian daripada direksi dan komisaris. Disisi lain, PP 23 dapat menjadi tools untuk mencegah BUMN menjadi ruang bancakan elit politik. Seperti diketahui kerap terjadi pengisian komisaris terkadang hanya sekedar untuk bagi-bagi jabatan tanpa proses dan tanggung jawab yang jelas.

Walaupun tidak ada indikator pasti atas apa itu itikad baik dalam PP 23 namun tetap saja ini sebuah kemajuan dalam dunia per BUMN an di tanah air. Karena komisaris dan Direksi dapat dianggap bertanggung jawab atas kerugiaj perusahaan.

Normal di pasal 27 dan pasal 59 sebenarnya bukan hal baru. Seperti di singgung di awal bahwa norma ini sudah ada pada UU Perseroan Terbatas. Di negara maju, norma ini sudah menjadi prinsip daripada hukum perusahaan. Di negara Angli Saxon misalnya mengenal prinsip duty of care dan standard of care. Duty of care dalam hukum perusahaan AS adalah kewajiban berhati-hati bagi anggota Direksi dan pegawai suatu perseroan dalam bertindak.

Sutan Remy Sjahdeini merangkum perbuatan yang dapat di kategorikan sebagai perbuatan yang tidak berdasarkan itikad baik antara lain, perseroan membeli properti yang lebih tinggi dari harga wajar, perseroan menjual properti dengan harga lebih rendah, Direksi memberikan kredislt dengan tidak melalui analisis yang baik sesuai peraturan dan AD ART dan direksi memperoleh manfaat pribadi dengan memanfaatkan transaksi dari perseroan (Manahan, 2017).

Fiduciary Duty

PP 23/2022 mempertegas kewajiban fiduciary duty daripada direksi. Dalam hukum perusahaan doktrin fiduciary duty diterima secara umum dimana fiduciary duty adalah tugas dari seseorang yang disebut “trustee” Yang terbit dari suatu hubungan hukum antara trustee dengan pihak lain yang di sebut beneficiary. Dimana pihak beneficiary memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap pihak trustee oleh karena itu pihak trustee memiliki kewajiban yang tinggi untuk menjaga dan melaksanakan kewajibannya dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.

Direksi pada perseroan umum atau BUMN adalah trustee dari mentri keuangan. Sehingga direksi maupun komisaris wajib memenuhi tanggung jawab fiduciary duty. Dalam fiduciary duty terdapat jenis kewajiban yaitu Duty of loyalty adalah to protect the interests of the company and its stockholeders dan to refrain from doing anything that would injure the company.

Duty of care dimana a director must proceed with “critical eye” In assesing information presented to him or her and must perform his responsibilities with a care. Selanjutnya adalah duty of good faith dan duty of disclosure. Beritikad baik dan terbuka. Duty of loyalty dan duty of care adalah dua kewajiban utama.

Philip Lipton dan Abraham Herzberg membagi fiduciary duty terdiri dari to act bona fide in the interest of the company, to exercise power for their proper purposes, to retain discretion power dan to avoid conflicts of interests (Manahan 256, 2017)

Dalam sistem hukum perusahaan Inggris ada yang di kenal dengan salomon principle dimana terdapat perbedaan antara perusahaan dan pemegang saham dan direksi. Sehingga kerugian yang dialami oleh perusahaan tidak dapat dimintakan pertanggung jawabannya pada pada pengurus. Prinsip ini di ambil dari putusan the house of Lords tahun 1897. Akan tetapi prinsip ini dapat diabaikan dengan beberapa pengecualian baik pengecualian berdasarkan UU maupun putusan hakim. dimana pengurus dianggap bertanggung jawab atas kerugian yang dialami Perseroan.

Sebagaimana dalam putusan hakim Lord Denning MR dalam kasus Wallersteiner versus Moir (1974) dimana dalam putusannya menetapkan bahwa hutang yang dibuat atas nama perusahaan harus di perlakukan sebagai utang diretur. Dimana direktur bertanggung jawab secara pribadi (Hage, 1995)

Oleh karena itu, keluarnya PP 23 tahun 2022 dapat menjadi obat bagi carut marut BUMN di tanah air. Memberikan kepastian hukum dalam pertanggungjawaban pengelolaan perseroan di BUMN yang kerap kali mengalami kerugian dengan tanpa pertanggungjawaban yang pasti.

Tinggalkan komentar