La Ode Sakiyuddin

Ramai penolakan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Tidak tanggung-tanggung, penolakan ini datang dari berbagai elemen, mulai dari masyarakat biasa, praktisi, hingga Ormas seperti Muhammadiyah.

Penolakan atas permendikbud ini didasari oleh beberapa alasan, yang menurut pantauan penulis, mulai dari aspek materil hingga formil. Tetapi mayoritas menolak permendikbud ini dari aspek materil. Hal ini menimbulkan perdebatan hukum yang a lot diantara para pihak, karena tidak sedikit pula yang mendukung pemberlakuan permendikbud ini.

Permendikbud atau peraturan mentri diatur dalam pasal 8 ayat 1 UU 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Pasal 8 ayat 1 UU No. 12 tahun 2011 berbunyi :

Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan,lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota, Bupati Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

Dari sudut pandang teori hierarki hukum Hans Nawiasky, peraturan mentri masuk dalam golongan norma verordnung dan autonome satzung. Verordnung dan autonome satzung berfungsi sebagai norma yang mengatur tentang pelaksanaan dan eksekusi (politieke daad) dari undang-undang. Verordnung dibentuk berdasarkan pelimpahan kewenangan pengaturan (delegated legislation) dari suatu UU atau peraturan yang lebih tinggi. Sedangkan autonome satzung atau peraturan otonom adalah peraturan perundang-undangan yang di bentuk berdasarkan pemberian kewenangan pengaturan (atributive legislation) dari suatu UU kepada lembaga tersebut.

Karena sampai saat ini RUU Pencegahan kekerasan seksual (RUU PKS) belum juga di sahkan maka pembentukan permendikbud 30 tahun 2021 adalah murni kewenangan dari lembaga negara atau autonome satzung.

Bahwa pembentukan permendikbud 30 didasari oleh keprihatinan atas meningkatnya kekerasan seksual dilingkungan perguruan tinggi. Yang justru menurunkan kualitas pendidikan tinggi. Selain itu permendikbud ini penting untuk menjamin kepastian hukum dari pencegahan kekerasan seksual di dunia perguruan tinggi. Semua pihak mengakui pentingnya permendikbud ini hanya saja beberapa “kelemahan” Dianggap harus segera di perbaiki, oleh sebagian pihak seharusnya di cabut.

Jimly Asshidiqie menulis 4 bentuk kegiatan dalam pembuatan peraturan perundang-undangan yaitu (1) Prakarsa pembuatan UU (2) pembahasan rancangan UU (persetujuan atas UU dan ( 4) pemberian persetujuan UU. Jusrina Rizal menulis dalam masalahnya yang berjudul “Sosiologi perundang-undangan” Mengatakan bahwa salah satu tahap pembentukan perundang-undangan adalah tahap penelitian. Dimana tahap penelitian ini adalah suatu kegiatan ilmiah untuk mendapatkan data akurat terkait dengan permasalahan dan dapat dilakukan oleh pihak manapun termasuk perguruan tinggi dan masyarakat pada umumnya.

Pada tahap inilah segenap informasi penting terkait pembentukan perudangan-undangan yang dimaksud dapat dikaji secara holistik. Agar pada tahap post legislatif peraturan perundang-undangan tersebut dapat diterima oleh semua pihak. Hal ini sejalan dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan dalam pasal 5 UU/12/11. Yaitu asas keterbukaan.

Mengingat Indonesia adalah negara yang berdasarkan pancasila yang berdasarkan nilai-nilai ketuhanan yang maha Esa maka pembentukan peraturan perundang-undangan harus sesuai adalah cita hukum nasional.

Banyaknya penolakan ini terjadi karena keterbukaan keterbukaan sebagaimana tertuang dalam asas pembentukan peraturan perundang-undangan di UU 12/11. Terutama terhadap kelompok agamis yang sangat keras menentang produk permendikbud ini. Dengan tudingan berpotensi melegalkan hubungan seksual diluar nikah.

Indonesia mungkin bukan negara agama tetapi juga bukan negara sekuler seperti Jerman yang tegas memisahkan agama dan negara. Sehingga nilai-nilai moral atau agama kerap di susupkan pada peraturan perundang-undangan dan menjadi nilai berbangsa dan bernegara yang oleh Paul Bohannan disebut double legitimation. Nilai yang terlegitimasi moral sosial dan setelah itu oleh proses legislasi.

Terkait nilai-nilai moral penting juga untuk ketahui bahwa tidak selamanya nilai moral menjadi hukum positif. Tetapi nilai moral sangat penting untuk menjadi landasan bagi penerimaan hukum positif. Jaap Hage menulis “Legal rules are often compared to and contrasted with moral rules. One reason why this happens is because we consider it desirable that the law does not violate
morality. Conformity of the law with morality is, in the eyes of some a precondition for the existence of law: a rule that clearly violates morality would not be a binding legal rule at all.

Hukum positif dalam menurut sebagian orang, mengutip Hage, yang bertentangan dengan moral tidak akan mengikat sebagai hukum. Akan tetapi masih menurut Hage, hukum dan moral juga memiliki perbedaan, hukum mengatur tentang apa yang harus dan tidak harus dilakukan. Disini ada kewajiban dan larangan. Tidak ada daerah abu-abu. Yang berbeda dengan moral banyak terdapat ruang abu-abu. Karena moral menunjuk pada sesuatu yang baik dan kurang baik dan tidak baik.

Salah satu nilai moral yang melekat kuat di benak masyarakat adalah dilarang berhubungan seksual diluar pernikahan. Dalam standar moral hal itu tidak baik. Tetapi fakta keberadaan praktik ini juga tidak dapat dinafikan begitu saja. Baik fenomena hubungan diluar nikah sama sekali atau dengan hubungan pernikahan siri yang kerap di salah gunakan di banyak tempat.

Tentang hubungan seksual di luar pernikahan di Indonesia memang tidak diatur secara ekspresive verbis. Pasal pidana tentang ini seperti di 290 atau 284 KUHP mensyaratkan keadaan tertentu yaitu salah satu pihak telah terikat dalam ikatan perkawinan. Terkecuali pada delik pemerkosaan. Yang tentu derajatnya sudah jauh lebih tinggi daripada pelecehan. Atau dengan korbannya di bawah umur.

Tentu menjadi salah jika permendikbud justru memuat delik pelarangan tentang hubungan diluar nikah. Apalagi menyertakan sanksi. Karena hal ini bukan domain daripada permen. Tetapi UU. Karena permen hanya merupakan peraturan pelaksana dari UU. Tidak bisa ada norma baru dalam sebuah permen yang lebih luas dan lebih kuat daripada UU. Permen hanya memperjelas apa yang tertuang dalam peraturan diatasnya. Seharusnya materi ini diatur dalam sebuah UU tersendiri. Atau include dalam KUHP baru.

Banyak pihak yang mengkritisi frase “tanpa persetujuan korban”. Frase ini memang menggelitik. Tentu jika di raba mungkin maksud pembuat permen adalah jika seseorang setuju untuk melakukan kegiatan dalam pasal 5 Permendikbud 30 maka hal tersebut bukanlah pelecehan. Benarkah demikian?

Pencantuman frase tanpa persetujuan korban sebenarnya berlebihan. Karena akan menyulitkan pembuktian. Di satu sisi kedudukan antara korban dan pelaku dalam relasi pelecehan seksual terkadang tidak setara. Sehingga bisa saja pelaku berupaya mendapatkan persetujuan walaupun dengan cara-cara kekerasan yang oleh karena itu dapat menjadi baru sandungan terhadap kelanjutan penyelidikan. Namun penulis juga tidak setuju jika mengasosiasikan frase “tanpa persetujuan korban” sebagai anjuran hubungan seksual diluar nikah. Tidak adanya pelarangan bukan berarti anjuran. Tidak adanya larangan maka disana ada kekosongan hukum yang harus segera di isi.

Tinggalkan komentar