
Kemajuan teknologi informasi telah juga berdampak pada berbagai bidang kehidupan lain, salah satunya di bidang hukum. Segala kemudahan yang diberikan oleh teknologi informasi membuat siapapun dapat –dimana saja memproduksi suatu karya cipta –yang dapat langsung dipublikasikan melalui kanal-kanal media elektronik baik yang non profit maupun bertujuan mendatangkan keuntungan.
Salah satu bentuk karya cipta itu adalah karya tulis. Baik itu berbentuk puisi, opini, reportase, dan sejenisnya, yang oleh penulis dapat dengan mudah di publikasikan melalui media elektronik seperti blog, kanal opini media, media sosial dan lain sebagainya.
Karya tulis masuk sebagai salah satu hak cipta yang dilindungi oleh undang-undang. Sebagaimana di atur dalam pasal 95 ayat 1 UU 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC) perubahan atas UU No 19 tahun 2002 tentang hak cipta. Dimana di pasal ini di pertegas kepentingan hukum hak cipta yang dilindungi oleh adalah terhadap ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan senja dan sastra yang terdiri atas –salah satunya buku, pamflet, perwajahan karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lainnya.
Hak cipta adalah hak ekslusif (exclusive right) yang terdiri atas hal moral dan ekonomi. Dan hak cipta timbul berdasarkan prinsip deklaratif artinya terbitnya hak cipta tidak berdasarkan pendaftaran atau di mohonkan, melainkan terbit secara otomatis setelah ciptaan atau hasil ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan (Adami Chazawi, 2019)
Dengan prinsip deklaratif ini, membuat para penulis yang menerbitkan karya mereka secara mutatis mutandis dilindungi oleh UUHC. Perlindungan hukum terhadap penulis karya ini sangat penting bagi pengakuan atas karya tulis yang sebelumnya kurang mendapat perhatian dari pemerintah untuk dilindungi hak-haknya.
Publikasi karya –seperti di singgung di awal dapat dilakukan melalui media cetak dan elektronik. Keduanya tentu masuk dalam kategori “dalam bentuk nyata” Ketika terpublis. Saat ini banyak penulis yang memilih untuk mempublikasikan tulisan-tulisannya melalui blog atau media sosial. Sehingga dapat dengan mudah di baca bahkan di copy dan dipindahkan atau di cetak. Akibatnya hak-hak dari para penulis atau dengan kata lain pemegang hak cipta dari tulisan tersebut tidak dapat mengetahui secara pasti bagaimana karyanya diperlakukan.
Seperti contoh kasus yang mengemuka baru-baru ini. Ada seorang penulis yang mempublikasikan tulisannya melalui blog gratisan. Kemudian oleh pihak lain tulisan itu di copy dan dikumpulkan menjadi sebuah buku (e-book) dan di halaman sampulnya tertulis nama pen-comot tulisan sebagai editor tanpa terlebih dahulu meminta izin kepada penulis aslinya. Walaupun dalam e-book yang disebarkan luaskan itu tetap melampirkan nama penulis aslinya.
Peristiwa seperti itu tentu mengganggu nalar kita. Bahwa hak ekslusif sebuah karya telah di “perkosa” Oleh pihak lain dan tentu sangat merugikan penulis aslinya.
Langkah hukum apa kira-kira yang harus di tempuh oleh sang penulis ?. karena siapa saja bisa mengalami hal seperti itu. Apalagi publikasi lewat e-book tidak dapat di tarik dari peredaran seperti halnya buku cetak. Hal ini tentunya menambah kerumitan dan membutuhkan pemecahan hukum yang tepat guna memberikan keadilan dan kepastian hukum terhadap para pihak terutama kepada pemilik hak cipta atas suatu karya tulis.
Dalam UUHC selain bersifat administratif, juga bersifat perdata dan pidana. Cara penyelesaian sengketa hak cipta secara perdata yaitu dapat melalui pengadilan atau litigasi melalui pengadilan niaga, arbitrase, dan alternatif penyelesaian sengketa. Akan tetapi yang menjadi fokus daripada tulisan ini adalah menyangkut tindak pidana daripada pelanggaran atas hak kekayaan intelektual khususnya hal cipta.
Pada UUHC terdapat 7 pasal yang mengatur tentang sanksi pidana hak cipta, yaitu dari pasal 117 sampai pasal 119 UUHC. Dari ketujuh pasal tersebut yang berkaitan dengan izin pencipta atau pemegang hak cipta ada di pasal 113 ayat 3 jo pasal 9 ayat 1 jo huruf a, huruf b, huruf e, dan huruf g, yang jika di rumuskan menjadi satu naskah menjadi :
“Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta atau pemegang hak cipta berupa penerbitan ciptaan, penggandaan ciptaan dalam segala bentuknya, atau pendistribusian ciptaan atau salinannya, atau pengumuman ciptaan, untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan denda paling banyak 1.000.0000.000.000 (satu miliar rupiah) “
Tentu jika mencermati unsur pasal ini, untuk dapat dipidana maka si pelaku harus “menggunakan secara komersial”. Maka jika seseorang menerbitkan sebuah karya tulis hasil copy an tanpa izin dari penulis aslinya tanpa tujuan komersial maka ia tidak dapat dipidana dengan pasal ini.
Demikian pula yang terdapat pada pasal 113 ayat 2 jo pasal 9 ayat 1 huruf C, jurus d, huruf f, dan/atau huruf h. Juga terdapat penekanan unsur penggunaan secara komersial.
Sementara pada kasus diatas si pelaku penggandaan dan penyebaran karya tulis tanpa izin pencipta dan pemegang hak tidak untuk tujuan komersial atau mencari keuntungan ekonomi. Disisi lain kerugian pencipta secara immateril tentu tidak dapat dinafikan. Akibatnya penghargaan atas hak cipta atau secara umum kekayaan intelektual menjadi terdegradasi sehingga dibutuhkan payung hukum baru untuk melindungi atau minimal mencegah pihak lain yang tidak bertanggung jawab untuk dengan sengaja tanpa hak melakukan publikasi tulisan orang lain. Karena sebagaimana di singgung oleh Eddy Damian (2005) penegakan hukum hak cipta terkendala cukup berat karena kurangnya budaya atau etika bangsa Indonesia untuk mau menghargai ciptaan seseorang dan kurang pemahaman masyarakat dan penegakan hukum tentang arti dan fungsi hak cipta serta kurangnya fungsi pencegahan (deterrent) dari UUHC yang telah berlangsung lama.
Apa yang dikemukakan oleh Eddy Damian tersebut lebih kepada kultur hukum dan saat ini perlu penekanan pada substansi hukum dengan membatasi atau memberikan sanksi pidana kepada pelanggar hak cipta dengan atau tanpa tujuan komersial. Karena walaupun tanpa tujuan komersial si pelaku memperoleh keuntungan immaterial secara cuma-cuma.