La Ode Sakiyuddin

Publik kembali di buat terluka, setidaknya itu terungkap pada reaksi warga net setelah mengetahui putusan pengadilan tinggi atas kasus yang menyeret jaksa pinangki, yang terlibat kasus suap oleh pengusaha sempat buron Djoko Tjandra.

Pengadilan tinggi Jakarta memangkas hukuman pinangki dari 10 tahun menjadi 4 tahun dengan pertimbangan hukum bahwa pinangki adalah seorang perempuan dan memiliki seorang balita yang butuh peran seorang ibu. Hal itu tertuang di dalam Putusan nomor 10/PID.SUS-TPK/2021/PT DKI yang diputuskan pada Selasa (8/6/2021).

Putusan PT jakarta itu bukan saja mengundang reaksi masyarakat umum, tetapi juga mantan terpidana kasus angelina sondakh juga angkat bicara mengingat ia pernah di mendapat hukuman yang lebih tinggi dengan penambahan hukuman dari 4.5 Tahun menjadi 12 Tahun, padahal pada saat itu anjelina juga memiliki bayi seperti yang kini juga di alami pinangki.

Tentunya benar, bahwa sistem hukum di Indonesia adalah eropa kontinental bukan common law yang menganut the binding of precendent dimana hakim terikat oleh putusan hakim terikat oleh putusan hakim yang lebih dulu untuk perkara yang memiliki keidentikan. Akan tetapi dalam praktek untuk menjamin keteraturan dan keragaman putusan tidak sedikit hakim yang mendasarkan putusannya kepada putusan hakim yang lebih dulu incrah, terlebih pada kasus-kasus yang belum ada aturan hukum yang mengaturnya. Sehingga hakim diberikan kewenangan hukum melakukan penafsiran dan penemuan hukum (rechtvinding).

Disisi lain, keadilan adalah topik yang debatble. Para ahli hingga filosof telah terlibat diskusi dalam waktu yang panjang tentang apa itu keadilan. Para ahli hukum sendiri memiliki pandangan yang beragam atas keadilan. Misalnya Hans Kelsen yang menganggap keadilan itu adalah masalah psikologis atau lebih tepatnya ideologis dan hukum harus di jauhkan dari anasir-nasir semacam itu.

Berbeda Aristoteles atau Aquinas yang berasal dari eksponen hukum alam begitu menekankan pentingnya keadilan dalam sebuah putusan hukum. Plato juga mengemukakan keadilan metafisik yang menurutnya keadilan itu bersumber dari inspirasi dan intuisi. Sedangkan Aristoteles lebih menekankan pada prinsip-prinsip umum rasionalitas tentang keadilan.

Berbeda lagi dengan penganut positivisme hukum yang menolak keadilan karena tidak ada rumus yang pasti untuk itu. Adil menurut anda belum tentu adil menurut yang lain. Oleh karena itu menjamin penerapan legalitas suatu aturan hukum adalah keadilan itu sendiri. Hakim itu hanya bouche de la loi, hakim hanya terompet UU.

Mendukung pandangan positivisme hukum Montesqiue pernah berkata, “hakim-hakim rakyat, tidak lain hanya corong yang mengucapkan teks undang-undang. Jika teks itu tidak berjiwa dan manusiawi, para hakim tidak boleh mengubahnya, baik tentang kekuatannya, maupun tentang kekuatannya”.

Demikian juga dengan Jean Jacques Rosseau yang berpendapat bahwa kekuasaan tertinggi kehendak rakyat dan kehendak rakyat ini di wujudkan dalam UU. Sehingga siapapun yang menentang UU maka ia berarti menentang kehendak rakyat.

Belakangan aliran positivisme hukum mengalami kritikan dari para teoritikus. Bermula dari aliran realisme yang tumbuh subur di Amerika Serikat. Basis realisme di Amerika sendiri bermula penerimaan realisme filosofis yang dipengaruhi oleh W. James dan J. Dewey (1859-1952). James menolak “kemutlakan dana kepura-puraan belaka” Hal ini berarti the open air and the possibilities of nature yang bertentangan dengan kepalsuan dan kemunafikan finality of truth.

Teoritikus keadilan paling mutakhir, John Rawls menawarkan suatu pendekatan baru atas terwujudnya keadilan. Bahwa menurutnya keadilan bisa terwujud diawali dengan kebebasan (freedom) dan kesempatan yang sama untuk semua orang (fairness). Rawls menekankan keadilan itu adalah fairness yang mengandung asas-asas bahwa orang merdeka dan rasional yang berkehendak dan memasuki perkumpulan atau masyarakat dengan kehendak itu berubah menjadi kebijakan politik atau aturan-aturan yang mana aturan ini merupakan ukuran tentang apa yang menjadi hak.

Meramu berbagai sudut pandang tentang keadilan Gustav Radbruch kemudian merumuskan tujuan hukum berupa keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.

Sebagai pemutus perkara yang menjalankan peraturan perundang-undangan tentu hakim harus dapat mewujudkan keadilan yang tercermin dan kehendak bersama yang merupakan sari pati kehendak rakyat. Dan memastikan masyarakat mendapatkan hak-haknya yang telah terumus pada kehendak bersama. Seperti yang terjadi dalam kasus pinangki, setiap orang dapat dapat berpendapat tentang seberapa adil putusan itu, akan tetapi nampak putusan hakim belum mampu menjawab keadilan substansial yang diharapkan oleh masyarakat. Apalagi putusan ini sudah berkekuatan hukum tetap (incrah van gewisjde). Tidak ada yang dapat dilakukan oleh masyarakat selain hanya mengutuk sehingga ketidakpeduliaan terhadap tatanan penegakan hukum semakin tinggi. Hal itu terjadi karena hak masyarakat untuk mendapatkan perlakukan sama secara sangat tercederai.

Terobosan hukum

Dalam hukum pidana kita, putusan yang telah berkuatan hukum tetap masih bisa di uji kembali melalui upaya hukum luar biasa yang bernama peninjauan kembali. Peninjauan kembali secara normatif diatur dalam pasal 263 KUHAP. Ada tiga adalah yang dapat dijadikan dasar permintaan peninjauan kembali, sebagaimana diatur dalam. Pasal 263 ayat 2 yaitu, novum atau bukti baru, bukti hal atau keadaan yang terbukti ternyata bertentangan satu dengan lain, dan apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

Apakah putusan hakim terhadap pinangki terdapat kekhilafan dan kekeliruan? Tentu ini sangat dapat diperdebatkan. Hanya saja upaya hukum ini terbatas pada –sebagaimana disebutkan pada ayat 1 pasal 263 –terpidana dan ahli warisnya. Tidak untuk pihak ketiga atau masyarakat umum. Bahkan Jaksa. Terkait para pihak yang boleh mengajukan PK di mahkamah Agung melalui yurisprudensi kasus Muchtar Pakpahan membolehkan Jaksa mengajukan permintaan penjauan kembali. Namun untuk pihak korban atau pihak ketiga masih belum diterima seperti pada putusan PK atas kasus Ida Bagus gede Manuaba pada tahun 2001.

Tentu harus ada terobosan hukum disini. berupa pemberian ruang pihak ketiga untuk mengajukan PK. Mengingat kasus korupsi merugikan seluruh masyarakat dan masuk sebagai serious crime, sudah sangat layak apabila diperluas hingga diperbolehkannya masyarakat yang umumnya menjadi korban perilaku koruptif untuk menjadi pemohon pengajuan PK di MA.

Hal ini sangat penting untuk pembangunan hukum pidana kita yang selama ini telah forgotten people in the system menurut William F. MacDonald (1977). Lanjut William, The Criminal justice system is not for his benefit for the community’s. Purposes to deter crim, rehabilitasi criminal, punish criminal, and do jsutice, but not to restore their wholeness or to vindicate them.

Hukum pidana hanya berorientasi untuk menghukum pelaku tetapi lupa dengan keadaan atau yang dialami korban dengan segala haknya. Ini dapat menjadi dasar pemikiran sehingga MA membuka ruang bagi pihak ketiga dalam kasus korupsi untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali atas kasus korupsi yang di nilai di putus secara tidak adil.

Tinggalkan komentar