Oleh : La Ode Sakiyuddin

Perjanjian (overenkomst) sering dipadankan dengan perjanjian (verbintenissen). Namun dalam tataran operasional, ketika menyebut perjanjian maka konotasinya adalah kontrak atau perikatan.¹

Pada umumnya untuk mendefinisikan perjanjian dalam Burgelijk Wetboek (BW) selalu mengacu pada pasal 1313 BW yang berbunyi :

Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih”.

Defisini menurut pasal 1313, dikritik Subekti². Seolah pasal 1313 mendefinisikan perjanjian sebagai perbuatan sepihak padahal secara umum perjanjian merupakan timbal balik dari para pihak yang mengikatkan diri didalamnya. Misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa, gadai dan lain-lain

Apakah benar bahwa defisini perjanjian menurut BW mengkaburkan esensi perjanjian itu sendiri?

Perlu diketahui bahwa pada pasal 1233 BW dibedakan jua jenis perikatan yaitu, perikatan yang lahir dari persetujuan dan perikatan yang lahir karena undang-undang. Perjanjian yang lahir dari persetujuan adalah merupakan perjanjian timbal balik. Sebagaimana yang diungkap oleh Subekti. Jadi jikalau mengacu pada pasal 1233 maka perjanjian melalui persetujuan kedua bela pihak secara timbalik balik itu justru tidak lengkap. Karena ada pula perjanjian yang lahir karena undang-undang.

Namun begitu para ahli banyak yang sepakat dengan pendapat Subekti. Seperti misalnya Riduan Syahrani mendefinisikan perjanjian dengan hubungan hukum antara dua pihak dalam lapangan harta kekayaan dimana salah satu pihak bertindak sebagai kreditur yang berhak atas prestasi (kewajiban) tertentu dan pihak lain sebagai debitur berkewajiban memenuhi prestasi tersebut.

Definisi perjanjian menurut Riduan Syahrani tentu spesifik pada perjanjian dalam arti yang bersumber dari persetujuan. Ada beberapa unsur perjanjian menurut Riduan Syahrani, yaitu (1) hubungan hukum dilapangan harta kekayaan, para pihak yaitu kreditur dan debitur, dan prestasi. Pertanyaanya apakah semua perjanjian itu selalu menyangkut harta kekayaan dan terdiri dari dua pihak dan harus ada prestasi?. Bagaimana dengan perjanjian yang lahir karena UU?. Oleh karena itu definisi perjanjian ini bukan perjanjian yang dalam arti luas, karena hanya menyangkut perjanjian yang lahir dari persetujuan.

Demikian pula definisi perjanjian menurut Yahya Harahap yang banyak digunakan oleh para hakim dalam putusannya. Hakikatnya tidak berbeda jauh dengan defisini Riduan Syahrani. Unsurnya terdiri dari hubungan hukum harta kekayaan, para pihak dan prestasi. Oleh Natsir Asnawi menekankan bahwa hubungan hukum dalam perjanjian menurut yahya harahap adalah hubungan hukum yang dikehendaki para pihak bukan hubungan hukum yang lahir dengan sendirinya atau lahir karena adanya undang-undang³.

Dengan demikian maka sesungguhnya defisini menurut para ahli banyak hanya memandang perjanjian berdasarkan persetujuan. Tidak mencakup perjanjian karena UU.

Hal ini dapat dicermati melalui Pasal 1354 KUHPerdata, yang berbunyi :

jika seseorang dengan sukarela tanpa ditugaskan, mewakili urusan orang lain, dengan atau tanpa setahu orang itu, maka ia secara diam-diam mengikatkan dirinya untuk meneruskan serta menyelesaikan urusan itu, hingga orang yang ia wakili kepentingannya dapat mengerjakan sendiri urusan itu. Ia harus membebani diri dengan segala sesuatu termasuk yang termasuk urusan itu. Ia juga harus menjalankan segala kewajiban yang harus ia pikul jika ia menerima kekeuasaan yang dinyatakan dengan tegas”.

Frase secara diam-diam mengikatkan dirinya sendiri jelas tidak tercakup dalam definisi menurut pada ahli diatas. Justru pasal ini lebih erat kaitannya dengan pasal 1313. Dapat dilihat pada frase “satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih.

Sebagai kesimpulan disini bahwa walaupun pasal 1313 dianggap kabur oleh Subekti dan para ahli lainnya, justru pasal itu lebih serasi dengan perjanjian yang lahir karena undang-undang. Sedangkan definisi menurut para ahli itu lebih kepada perjanjian yang lahir dari persetujuan yang artinya bukan perjanjian dalam arti luas. []

Catatan kaki :

1. Natsir Asnawi, Pembaruan hukum perdata, hal 67

2. Ibid

3.Ibid

Tinggalkan komentar