Seringkali kita menjumpai pemberitahuan atau pengumuman di tempat perbelanjaan yang berbunyi begini :

Barang yang telah dibeli tidak dapat di tukar kembali” atau “memecahkan barang berarti membeli”. Juga terkadang terdapat pada karcis parkir yang berbunyi “barang berharga jangan ditinggalkan didalam kendaraan, karena diluar tanggung jawab penjaga parkir”.

Demikian itu adalah contoh daripada perjanjian baku atau kontrak baku. Kontrak baku sebenarnya sudah dikenal sejak zaman Yunani kuno. Plato (424/347 SM) misalnya pernah memaparkan praktik penjualan makanan yang harganya ditentukan secara sepihak oleh sipenjual, tanpa memperhatikan perbedaan mutu makanan tersebut (Aulia Muthiah, 2018).

Dalam rumpun hukum perjanjian di Indonesia dikenal luas asas kebebasan berkontrak yang termaktub dalam apsal 1338 BW. Dimana setiap orang diberi hak oleh UU untuk berkontrak atau membuat suatu perikatan. Dan perikatan tersebut berlaku sebagai UU bagi kedua belah pihak. Asas ini biasa disebut dengan pacta sunt servanda.

Jika yang mengadakan kontrak berada dalam posisi yang sejajar secara ekonomi maka besar kemungkinan kontrak itu akan bersifat fair bagi kedua belah pihak. Benar-benar terjadi persetujuan oleh kedua belah pihak. Menjadi masalah ketika posisi kedua belah pihak tidak seimbang, sehingga satu pihak dapat dengan mudah memaksakan kehendaknya pada pihak lainnya. Terutama –misalnya debitur –sangat membutuhkan prestasi tertentu untuk kelanjutan hidup atau usahanya. Sehingga pihak yang berada dalam posisi kuat akan mendiktekan klausula kontrak yang merugikan pihak debitur.

Salah satu klausula yang dapat merugikan salah satu pihak atau debitur adalah yang dikenal dengan klausula Eksonerasi atau klausula eksemsi. Mariam darul badrulzaman menggunakan istilah klausula Eksonerasi sedangkan Downes menggunakan istilah klausula eksemsi.

Rijken mendefinisikan klausula Eksonerasi sebagai klausula yang dicantumkan di dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya dengan membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melawan hukum.

Sedangkan Sutan Remy Sjahdeni menjelaskan bahwa klausula eksonerasi adalah klausul yang bertujuan untuk membebaskan atau membatasi tanggung jawab salah satu pihak terhadap gugatan pihak lain dalam hal yang berangkutan tidak atau tidak dengan semestinya melaksanakan kewajibannya yang ditentukan dalam perjanjian tersebut.

Olehnya itu dalam UU perlindungan konsumen telah sudah diatur tata cara pembuatan klausula baku pada pasal 18 UUPK sekaligus sanksi bagi pelaku usaha jika melanggar kententuan pasal 18 ini.

Tentang klausula eksonerasi atau ekssi belum diatur tegas dalam UU. Tetapi secara umur dapat di tunjuk pasal 1337 BW yang menyatakan bahwa suatu perjanjian/kontrak tidak boleh bertentangan dengan UU.

Sehingga agar kontrak baku dapat diterima maka harus meniadakan klausula eksonerasi. Dimana dalam uraian defisini klausula eksonerasi menurut Remy Sjahdeni diatas dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat kalusula eksonerasi dibakukan dituangkan dalam formulir kontrak. Selain dalam bentuk kontrak, AZ Nasution menambahkan bahwa kontrak baku juga dalam bentuk dokumen. Kontrak ini sangat sederhana hanya permberitahuan dan berupa pengumuman yang harus dilaksanakan oleh para pihak. Seperti pada contoh diawal tentang tukang parkir.

Dengan mengikuti pendapat AZ Nasution maka –berbeda dengan Mariam darul badrulzaman –klausula eksonerasi juga dapat terjadi pada kontrak dalam bentuk dokumen.

Sebagai kesimpulan kontrak baku dapat dikatakan sah apabila tidak bertentangan dengan syarat sah kontrak (1320 BW), tidak ada unsur paksaan (dwang), kekeliruan atau kesesatan (dwaling) dan tidak ada penipuan (bedrog).

Tinggalkan komentar