La Ode Sakiyuddin

KPK kembali menunjukan taringnya. Setelah hampir setahun tidak menggelar operasi tangkap tangan (OTT), beberapa minggu terakhir kebuntuan itu terpecahkan. Diawali OTT terhadap mentri KKP, Edhy Prabowo, Bupati Cimahi, Bupati Banggai Laut dan terbaru Mentri Sosial, Juliari Peter Batubara (JPB).

OTT mentri social Juliari Peter Batubara berkaitan dengan dana bantuan social (bansos) covid-19. Dimana turut diamankan barang bukti senilai Rp. 14,5 M yang terdiri dari pecahan rupiah, dollar singapura dan dollar amerika serikat.

Karena korupsi JPB terkait dana bansos covid-19, banyak pihak yang kemudian teringat kembali dengan ancaman ketua KPK pada awal tahun, bahwa sesiapa yang berani korupsi dana bansos covid-19 akan diancam dengan pidana mati.

Mungkinkah tersangka korupsi dana Bansos Covid-19 akan dituntut dengan pidana mati ?. sebelum menjawab pertanyaan tersebut, penting kiranya membahas konstruksi pidana hukuman mati dalam UU No 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

 Tentang pidana mati, merupakan jenis ancaman pidana baru dalam UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang tipikor. Hal mana, ancaman pidana mati tidak diatur dalam UU No 3 Tahun 1971 tentang Tipikor. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan atas UU No 31 Tahun 1999 yang lengkapnya berbunyi :

“Dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, Undang-undang ini memuat ketentuan pidana yang berbeda dengan Undang-undang sebelumnya, yaitu menentukan ancaman pidana minimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana mati yang merupakan pemeratan pidana”

Namun demikian, tentang hukuman mati bukan merupakan sesuatu yang benar-benar baru. Karena telah ada lebih dulu dalam KUHP. Dimana termuat dalam pasal 10 KUHP Bab II tentang pidana yang merupakan pidana pokok.

Walaupun dengan menguatnya isu hak asasi manusia yang mengedepankan penghargaan setinggi-tingginya atas nilai jiwa raga manusia yang kerap bermuara pada penolakan penerapan pidana mati, Indonesia tetap mengakui dan menerapkan hukuman mati baik yang terdapat dalam KUHP dan UU Khusus lainnya seperti pidana terorisme dan korupsi.

Beberapa teoritikus filsafat hukum klasik yang mendukung penerapan hukumana mati antara lain, E. Kant yang menyatakan hukuman adalah suatu pembalasan, berdasar atas pepatah kuno, siapa yang membunuh maka harus di bunuh. Pandangan Kant ini popular dengan teori pembalasan.

Sedikit berbeda dengan Kant, Feurbach berpendapat bahwa hukuman harus dapat membuat takut orang supaya tidak berbuat jahat. Sehingga pemikiran Feurbach popular dengan afchrikkingstheorie atau teori ketakutan (R. Soesilo, hal. 35). Dan oleh ketua KPK RI telah pula memberikan ancaman serupa –dengan hukuman mati — atas sesiapa yang berniat menggarong dana bansos Covid-19 namun hal ini ternyata tidak diindahkan.

Pidana mati dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK) hanya diatur pada satu pasal yakni pasal 2 yang lengkapnya berbunyi :

  1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
  2. Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.

Adami Chazawi  (2016:58) dalam bukunya hukum pidana korupsi di Indonesia ketika membahas pasal 2 UU  PTPK menyebutkan bahwa rumusan unsure tindak pidana korupsi pada pasal 2 ini mengandung unsur pokok yang sama dengan bentuk yang pertama hanya ada penambahan “dalam keadaan tertentu” pada ayat 2. Berikut unsur-unsur pasal 1 UU PTPK menurut Adami Chazawi :

  1. Memperkaya diri sendiri
  2. Memperkaya diri orang lain
  3. Memperkaya diri suatu korporasi
  4. Secara melawan hukum
  5. Yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.

Tentang memperkaya diri tidak ada keterangan lebih lanjut dalam UU termasuk penjelasannya. Dalam KUHP ada unsur menguntungkan diri seperti dalam pasal 368, 369, 378 KUHP yang oleh para ahli sepakat menguntungkan diri menurut ketiga pasal ini sebagai “memperoleh atau menambah kekayaan dari yang sudah ada” (PAF. Lamintang, 1978:276).

Tentang melawan hukum, disebutkan pada penjelasan pasal 2 ayat 1 UU PTPK bahwa :

Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formal, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat

Maka menurut R. Wiyono (2008:32) UU PTPK mengikuti ajaran sifat melawan hukum secara alternative yaitu ajaran sifat melawan hukum formil atau ajaran sifat melawan hukum materil. Roeslan Saleh (1987:7) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan melawan hukum materil berarti tidak saja hanya bertentangan dengan hukum tertulis tetapi juga bertentangan dengan hukum tidak tertulis.

Moeljatno dalam Asas-asas Hukum Pidana hal. 133 mengemukakan terdapat dua fungsi dari ajaran sifat melawan hukum materil yakni ajaran sifat melawan hukum materil dalam fungsi yang positif dan dalam fungsi yang negative. Dalam ajaran sifat melawan hukum materil yang positif berarti bahwa suatu perbuatan meskipun oleh peraturan perundang-undangan tidak ditentukan sebagai melawan hukum tetapi menurut penilaian masyarakat perbuatan tersebut dinilai melawan hukum maka perbuatan tersebut tetap merupakan perbuatan melawan hukum. Sebaliknya dalam ajaran sifat melawan hukum materil menurut fungsi yang negative bermakna bahwa walaupun peraturan perundang-undangan dianggap sebagai perbuatan melawan hukum sedangkan oleh penilaian masyarakat bukan merupakan perbuatan melawan hukum maka perbuatan tersebut dianggap sebagai bukan merupakan perbuatan melawan hukum.

Tentang merugikan keuangan Negara tidak ada penjelasan resmi dari UU PTPK. Adami Chazawi mengetengahkan kerugian keuangan Negara menurut UU No 1 Tahun 2004 tentang perbendaharaan Negara dan UU No 15 tentang BPK yang menyatakan bahwa kerugian Negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.

Menurut R. Wiyono dengan berpatokan pada apa yang dikemukakan oleh P.A.F Lamintang menyatakan bahwa sudah cukup jika terdapat alat-alat bukti yang dapat membuktikan kemungkinan terjadinya kerugiaan keuangan Negara atau perekonomian Negara, bahkan pelaku tidak harus membayangkan kemungkinan terjadinya kerugian keuangan dan perekonomian Negara.

Pandangan ini juga dianut oleh Mahkamah Konstitusi pada waktu ada permohonan uji materil atas UU PTPK dengan alasan unsur “dapat merugikan keuangan Negara dan perekonomian Negara pada pasal 2 ayat 1 bertentangan dengan kepastian hukum yang adil sebagaimana dimaksudkan oleh pasal 28D ayat 1 UUD 1945 dimana dalam menjatuhkan putusannya dengan putusan tanggal 24 juli 2006 Nomor 003/PUU-IV/2006 dalam satu pertimbangannya menyatakan bahwa “kata dapat dalam frasa merugikan keuangan Negara dan perekonomian Negara menunjukan bahwa tindak pidana korupsi tersebut merupakan delik formil yaitui adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsure perbuatan yang dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat.

Tentang hukuman mati dalam pasal ini yang terdapat pada ayat ke 2 terdapat tambahan unsure yang dilakukan dalam keadaan tertentu. Sedangkan unsure pokoknya sama dengan bentuk pertama atau ayat 1. Keadaan ini berupa unsure tambahan untuk memperberat pidana. Yang dimaksud dengan keadaan tertentu diterangkan dalam penjelasan pasal 2 ayat 2 sebagai berikut :  

“Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. “

Sementara oleh Presiden Joko Widodo telah menetapkan Covid-19 sebagai bencana nasional melalui Keputusan Presiden (Keppres) No 12 Tahun 2020 tentang penetapan bencana nasional non alam Covid-19. Sehingga KPK sangat layak  tanpa ragu menuntut Mentri Sosial dengan hukuman mati.

Tinggalkan komentar