
Hukum waris (erfrecht) –menurut doktrin masuk dalam sistematika pembagian hukum perdata –bagian ke empat, setelah hukum kekayaan.
Hukum waris dalam BW diatur pada titel XII sampai dengan titel XVIII. Hukum waris dalam sistematika BW masuk dalam rejim hukum benda, hal itu karena dalam BW tepatnya pasal 584 KUHper meniru pasal 711 kode civil Perancis yang menegaskan bahwa hak milik atas suatu benda hanya dapat di peroleh melalui –salah satunya pewarisan.
Hukum waris menurut para sarjana pada pokoknya adalah peraturan yang mengatur perpindahan kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang (J.Satrio 1992:8).
Soepomo menjelaskan bahwa hukum waris memuat peraturan yang mengatur proses penerusan serta peralihan barang berwujud dan barang tidak berwujud dari suatu angkatan manusia pada keturunannya (Satrio Wicaksono 2011:2).
Sedangkan Wirjono Prodjodikoro menjelaskan bahwa hukum waris merupakan persoalan bermacam hak dan kewajiban tentang harta kekayaan seseorang saat ia meninggal dunia beralih kepada yang masih hidup.
Selanjutnya, dalam hukum waris BW terdapat banyak asas-asas hukum waris yang di gali dari pasal-pasal yang mengatur tentang waris. Salah satunya adalah yang mengatur tentang Hak Saisine.
Hak Saisine berasal dari suatu pameo Perancis “ke mort saisit le vif” yang artinya si orang meninggal mendudukkan (orang yang) hidup pada tempatnya.
Untuk lebih jelas memahami hak Saisine baiknya di kutip pasal 833 BW, sebagai berikut :
“Sekalian ahli waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak dan segala piutang yang meninggal … (Terjemahan R. Subekti & R. Tjitrosudibio hal 222)
Terjemahan Soedharyo Soimin, sebagai berikut :
“para ahli waris, dengan sendirinya karena hukum, mendapat hak milik atas semua barang, semua hak dan semua piutang orang yang meninggal”.
Perumusan undang-undang yang menyebutkan “… Dengan sendirinya memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak dan segala piutang…” Adalah kurang tepat karena yang menyebut aktiva nya saja padahal sebenarnya yang berpindah bukan aktivanya saja melainkan juga passiva atau hutang-hutangnya (Satrio 1992:87).
Jadi hak saisine adalah hak daripada ahli waris untuk tanpa berbuat suatu apa, otomatis/demi hukum menggantikan kedudukan si pewaris dalam lapangan hukum kekayaan.
Hak Saisine sangat berhubungan dengan hak hereditatis petitio yang diatur dalam pasal 834 dan 835 BW. Yaitu hak tuntut khusus benda-benda yang semula berada dalam warisan dikembalikan.
Dalam hukum waris Islam, hak Saisine ini identik dengan asas Ijbari. Amir Syarifudin dalam Aunur Rahim Faqih mendefinisikan asas Ijbari sebagai dengan meninggalnya si pewaris maka secara otomatis harta warisan beralih dengan sendirinya kepada si ahli waris (Aunur Rahim, 2017:32)
Ijbari secara etimologis mengandung arti paksaan. Yaitu melakukan sesuatu diluar kehendak diri sendiri dalam hal hukum waris yang berarti terjadinya peralihan harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup, tanpa ada perbuatan hukum dari si pewaris (Amir Syarifuddin, 2004:18)
Adanya unsur Ijbari dapat dipahami dari kelompok ahli waris sebagaimana disebutkan Allah SWT dalam ayat 11, 12, dan 176 Surat An-Nisa (M. Daud Ali, 2001:127).
Demikian penjelasan singkat tentang hak Saisine dalam hukum waris perdata. Yang memiliki kemiripan dengan hukum waris Islam. Walaupun pada akhirnya nanti sedikit terdapat perbedaan pada hak menolak dalam hukum waris perdata yang tidak terdapat pada hukum waris Islam. []