
Di tengah kegagapan menghadapi covid-19, Presiden Jokowi mengeluarkan Perpres No 64 Tahun 2020 tentang Jaminan Kesehatan perubahan kedua atas Perpres No 82 Tahun 2018 tentang jaminan kesehatan.
Perpres No 64 Tahun 2020 telah sudah membuat banyak pihak merasa terkelabui mengingat di Perpres ini Presiden kembali menaikan harga iuran BPJS setelah sebelum melalui Perpres 75 tahun 2019 dibatalkan oleh Mahkamah Agung dengan putusan No 7 P/HUM/2020.
Menarik jika mencermati konsideran Perpres 64/2020 dimana tertuang pertimbangan sebagai berikut :
“Bahwa untuk menjaga kualitas dan kesinambungan program jaminan kesehatan, kebijakan pendanaan jaminan kesehatan termasuk kebijakan iuran perlu disinergikan dengan kebijakan keuangan negara secara proporsional dan berkeadilan serta memperhatikan pertimbangan dan amar putusan Mahkamah Agung Nomor 7 P/HUM/2020”.
Salah satu bagian pendapat hukum MA pada putusan Nomor 7 P/HUM/2020 hal 55 disebutkan :
“Bahwa memperhatikan konsideran faktual pada Perpres 75/2019, ternyata tidak mempertimbangkan kemampuan masyarakat untuk membayar kenaikan iuran BPJS. Pertimbangan faktual lebih menekankan pada penyesuaian iuran, karena adanya defisit anggaran…”
Hal yang sama juga dapat ditemukan pada konsideran Perpres 64/2020. Bahwa sebagaimana dikutip diatas pertimbangan hanya dari aspek “kebijakan iuran perlu disinergikan dengan kebijakan keuangan negara secara proporsional dan berkeadilan“.
Artinya hal yang sama telah kembali dilakukan oleh pemerintah yakni mengandung cacat yuridis karena menurut MA bertentangan dengan pasal 2 UU No 40 Tahun 2004 tentang jaminan kesehatan nasional jo. Pasal 2 UU No 24 tahun 2011 tentang BPJS yang menggariskan bahwa “sistem jaminan kesehatan nasional diselenggarakan berdasarkan kemanusiaan, asas manfaat, dan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Sehingga dapat disimpulkan pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres No 64/2020 sebagaimana Perpres No 75/2019 mengandung cacat yuridis secara substansi.
Selain itu, pernyataan terbaru dari WHO bahwa kemungkinan Covid-19 tidak akan berakhir adalah fakta sosiologis yang luput dipertimbangkan dalam menerbitkan Perpres 64. Bahwa carut marut ekonomi yang lumpuh akibat covid-19 akan membutuhkan waktu yang lama untuk kembali seperti semula –menjadi sangat absurd jika kemudian masyarakat dihadapkan pada kenaikan harga BPJS. Dimana pemerintah justru secara sengaja menambah beban ekonomi masyarakat. Dalam arti pemerintah gagal dan luput mempertimbangkan suasana kebatinan masyarakat.
Juga ada hal yang menarik perhatian kalau membaca Perpres 64/2020 ini apabila melihat konsideran “mengingat” angka (4) dimana tertuang bahwa Perpres No 82/2018 telah diubah dengan Perpres 75/2019 sedangkan di title Perpres 64/2020 sebagai perubahan kedua atas Perpres 82/2018. Hal tersebut dapat ditemukan pada file Perpres 64/2020 yang diunduh dari laman Hukumonline.com. pertanyaan dimana Perpres perubahan kedua atas Perpers 82/2020. Karena kalau membaca putusan MA No 7 P/HUM/2020 yang dibatalkan hanya pasal 34 ayat (1) dan (2).
Namun, Nasi telah menjadi bubur, pemerintah telah mengoyak nurani kemanusiaan di tengah duka dan kesulitan akibat Corona.
Tentu upaya hukum terbuka lebar apabila kembali melakukan uji materil terhadap Perpres 64/2020 akan tetapi apakah hal tersebut bukannya menjadikan kebijakan pemerintah laiknya lelucon. Bagaikan membincangkan mana yang duluan telur atau ayam, siklus kausalitas tiada henti apabila pemerintah ngotot menerbitkan perpres, di Uji Materil, terbit Perpres lagi, di uji lagi, terus seperti itu tiada henti.