
Legal positivism hadir dengan kekuatan penuh menggeser aliran hukum kodrat dalam kancah persaingan teori hukum. Hukum kodrat setelah munculnya teori legal positivism benar-benar terjungkal dari singgasana teori hukum yang sejak Aristoteles sangat mendominasi.
Tersebutlah nama beken, Jhon Austin di balik teori hukum yang kini paling banyak dianut dan di praktekan oleh sistem hukum negara-negara di dunia.
Jhon Austin dalam karyanya yang berjudul The Province of Jurisprudence Determined telah menggeser cita-cita tentang keadilan (idea of justice) yang digaungkan oleh para penganut aliran hukum kodrat dengan mengubahnya menjadi perintah yang berdaulat (command of sovereign).
Dalam hal ini, Prof. Jhon Austin berdalil, bahwa hukum adalah suatu peraturan yang dibuat untuk mempergunakan sebagai pedoman makhluk berakal, oleh makhluk berakal yang mempunyai kekuasaan terhadapnya. Bedasarkan pengalaman yang ditemui oleh Prof. Jhon Austin dalam kesehariannya, bahwa hukum positif berakar sepenuhnya dari fakta-fakta empiris yang bersumber dari ketentuan berdaulat. Dari pemikiran yang disumbangkan oleh Prof. Jhon Austin tersebut, memunculkan kenyakinan tiada hukum tanpa perintah penguasa berdaulat.
Perpu no 1 tahun 2020 adalah salah satu produk hukum dari penguasa berdaulat. Yang dipilih secara demokratis dan di terbitkan sesuai amanat konstitusi tentang kewenangan presiden perihal perpu (pasal 22 UUD 1945).
Perpu ini telah menjadi pegangan pemerintah dalam mengelola keuangan negara yang bersifat emergency akibat hantaman badai pandemic Corona. Selain jadi pegangan, perpu ini juga berpotensi menjadi alat oleh pihak tidak bertanggung jawab untuk menunggangi emergency power dalam batas yang di amanahkan konstitusi.
Bagaimana tidak, perpu ini ternyata tidak mencantumkan pasal 12 UUD 1945 sebagai konsideran “mengingat”. Dimana pasal 12 UUD 1945 berbunyi:
“Presiden menyatakan keadaan bahaya, syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang”
Padahal dengan adanya pengumuman status pandemic Corona dari WHO dan juga status bencana nasional dari pemerintah seharusnya sudah sangat cukup alasan untuk menyatakan keadaan berbahaya. Untuk itu dibutuhkan UU sebagaimana amanah pasal 12 diatas sekaligus dalam upaya menangani pandemic ini secara konstitusional.
Benar keadaan bahaya telah sudah pula diatur dalam UU no 23 tahun 1959, namun tentunya UU tersebut terakhir ini sudah tidak sesuai dengan kondisi negara saat ini. Olehnya itu semestinya “keadaan bahaya” di akomodir melalui perpu no 1 tahun 2020 agar sekali lagi langkah-langkah pemerintah dalam menangani pandemic Corona sesuai dengan emergency powers yang digariskan konstitusi.
Kembali kepada tema utama tulisan ini, menyangkut legal positivism yang merupakan meta teori dari perpu no 1 tahun 2020, –penting untuk mengetengahkan pemikiran filsuf hukum Harvard, Prof. Lon Luvis Fuller –yang menurutnya teori Austin itu tidak berdasarkan moralitas.
Karena penekanan Austin pada perintah sehingga luput untuk membatasi “perintah” seperti apakah yang seharusnya menjadi based dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Karena –misalnya Holocaust Yahudi oleh Nazi juga adalah merupakan “perintah berdaulat” dari Hitler. maka tepat apa yang diutarakan Fuller bahwa “perintah” saja tidak cukup, –namun mesti diimbangi dengan moralitas.
Berbicara tentang moralitas, bangsa Indonesia melalui founding father telah menetapkan pancasila sebagai falsafah hidup berbangsa dan bernegara yang menjadi sumber dari segala sumber hukum (grundnorm). Nilai Pancasila adalah jiwa bangsa (volkgeist) sebagaimana diungkap Von Savigny, yang mesti diterjemahkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Termasuk dalam hal ini perpu no 1 tahun 2020.
Namun pasal 27 Perpu no 1 tahun 2020 telah sudah –justru memberikan perlindungan yang teramat sangat terhadap pelaksana kekuasaan, –bahkan jika kelak merugikan negara dan atau warga negara tidak dianggap sebagai pelanggaran hukum. Luvis Fuller telah mengingatkan bahwa hukum tidak boleh saling kontradiksi (bandingkan pasal 27 ayat 1, 2, 3 perpu no 1 2020 dengan UU Tipikor, UU HAM, KUHper dll).
Benar bahwa dalam kondisi abnormal hukum yang diberlakukan juga harus abnormal. Namun suatu peraturan perundang-undangan harus senantiasa memuat pola hubungan yang di idealkan oleh konstitusi seperti diantaranya keadilan dan kesetaraan.
Dalam perwujudannya nilai ideal yang termuat dalam konstitusi dan Pancasila tersebut dipercayakan kepada legislative dan yudikatif untuk senantiasa menjaga eksekutif berada di rel konstitusi. Sehingga tepat bilamana Perpu No 1 tahun 2020 di tolak untuk disahkan menjadi UU oleh DPR dan atau Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal 27 Perpu no 1 tahun 2020 sebagaimana diajukan oleh berbagai pihak untuk Judical Review.