
Karena penolakan keras sejumlah elemen akhirnya KUHP buatan dalam negeri harus kembali batal di tetapkan. Konsekwensinya adalah tetap pada KUHP warisan Belanda ratusan tahun silam
Bukan hanya karena sudah uzur, KUHP Belanda atau Wetboek Van Strafrecht juga dalam implementasinya atau dalam praktik harus pula di terjemahkan terlebih dahulu dari bahasa aslinya bahasa Belanda.
Proses penerjemahan KUHP sendiri tidak ada yang secara resmi diakui atau dilakukan oleh negara. Prof. Eny Nurbaningsi mantan kepala BPHN dan sekarang menjabat sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi pada seminar hukum di Universitas Hasanuddin, 2019 lalu mengatakan bahwa hingga saat ini belum ada terjemahan resmi KUHP dari pemerintah. Padahal ada 7 (tujuh) terjemahan beredar di kalangan masyarakat, akademisi dan praktisi hukum.
Oleh karena itu, dalam praktik kita dapat menjumpai demikian banyak terjemahan, yang satu dengan yang lainnya, ternyata sangat berbeda dan dalam penggunaannya dapat menimbulkan kesalahpahaman diantara mereka yang belum benar-benar menguasai ilmu pengetahuan hukum pidana, dan tanpa disadari oleh penerjemahnya sendiri, kesalahan yang tampaknya tidak berarti di dalam menerjemahkan ketentuan-ketentuan pidana dalam KUHP itu dalam kenyataanya dapat mengakibatkan kesalahan-kesalahannya yang fatal dalam penerapannya (Lamintang, 2014:121).
Tentunya hal ini harus mendapat perhatian serius pemerintah. Agar terdapat keseragaman terjemahan sehingga tidak menimbulkan multiinterpretasi dan pemahaman.
Sekedar contoh akan dikemukakan 3 terjemahan dari pasal 1 ayat 1 KUHP yang berbeda dari P.AF. Lamintang, Mr. E.M.L Engelbrecht dan Redaksi Bhafana Publishing yang jual di Gramedia.
Redaksi pasal 1 ayat 1 dalam bahasa Belanda adalah sebagai berikut :
Green feit ia strafbaar dan uit Kracht Van eene daaraan voorafgegane wettelijk strafbepaling.
Oleh P.A. Lamintang menerjemahkannya dengan :
Tidak ada suatu perbuatan yang dapat dihukum, kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah ada terlebih dahulu daripada perbuatannya itu sendiri.
Sedangkan Mr. E.M.L Engelbrecht menerjemahkannya menjadi :
Tiada suatu perbuatan yang boleh dihukum melainkan atas kekuatan aturan pidana, dalam undang-undang yang terdahulu dari perbuatan itu.
Bandingkan lagi dengan terjemahan versi Redaksi Ghafana Publishing :
Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.
Dengan mencermati 3 terjemahan diatas kita dapat melihat adanya beberapa perbedaan. Baik dari jenis pilihan kata maupun dari struktur kalimat.
Misalnya kata strafbepaling oleh E.M.L Engelbrecht diartikan sebagai “aturan pidana”, sedangkan P.A.F Lamintang mengartikannya dengan “ketentuan pidana”.
Begitu juga dengan kata “wettelijk” oleh Mr. Engelbrecht di artikan “di dalam undang-undang”, hal mana mendapat kritik dari Lamintang bahwa kalimat “di dalam undang-undang” dapat memberikan kesan seolah-olah yang dimaksud dengan wet dalam perkataan wettelijk itu hanyalah wet atau undang-undang dalam arti formal saja. Padahal yang dimaksud disitu adalah juga undang-undnag dalam arti material.